Minggu, 25 April 2010

G30S, Terlibatkah Soeharto?

G30S, Terlibatkah Soeharto?

SETIAP kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan selalu menerawang
jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun
1965 yang sampai kini masih tetap menyimpan misteri.
Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan
menguasai dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang
terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S terjadi.
Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) yang tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965
dini hari itu. Data yang telah dipublikasikan selama ini menyebutkan, pada
tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah diberi informasi oleh
Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam
V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal
pimpinan teras Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal
Ahmad Yani, untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari
Latief kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia
terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan
dari gerakan yang dilakukan orang lain.
Dalam pledoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada
tanggal 30 September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua
hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965-Red), ia
juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus
Salim. Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan Jenderal
akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Menanggapi
pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari
seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang
datang sehari sebelumnya (28 September 1965-Red).
Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno
(Kabinet Dwikora), dalam Memoir Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno,
yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, menyebutkan, ia bertemu dengan Subagiyo
di dalam tahanan, dan Subagiyo mengatakan, ia telah memberi tahu Soeharto
mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30 September 1965 itu.
Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya
akan menjemput paksa para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk
dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto
menjelang peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal
Idris, yang sebagai Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin
pasukan tanpa identitas yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional.
Ditemui wartawan ketika melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH
Nasution, 6 September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak
Nas makin sulit pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S
yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. "Apa yang kita
kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangi oleh Kolonel Abdul Latief
dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu pada tanggal
30 September 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak
mengambil tindakan apa pun untuk pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu,
seolah-olah biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa," ujar Kemal Idris.
Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada
tanggal 21 Mei 1998, muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan
Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor
Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan tabloit berita Detak, yang dimuat
dalam edisi 29 September-5 Oktober 1998, Soekarbi mengatakan, dalam
Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21 September
1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto, isinya perintah agar
Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI
tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan "perlengkapan tempur garis
pertama".
Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530
disiapkan dengan "perlengkapan tempur garis pertama"? Apalagi kemudian yang
terjadi adalah sebagian dari anggota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam
peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah serupa diberikan pula kepada
Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian anggota pasukannya juga terlibat
dalam peristiwa G30S.
Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu
mengenai akan adanya peristiwa G30S, paling tidak sejak tanggal 21 September
1965, atau sembilan hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan
Batalyon 530 itu "perlengkapan tempur garis pertama", Soeharto telah
memfasilitasi anggota pasukan tersebut untuk melakukan "gerakannya".
Belum lagi hampir semua pelaku inti G30S memiliki hubungan yang dekat dengan
Soeharto, mulai Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Untung, Kolonel Abdul
Latief, sampai Sjam Karuzzaman.
Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu
perkembangan, dan pada saat yang tepat, dengan cepat mengambil
langkah-langkah yang diperlukan, di saat orang-orang lain, termasuk panglima
dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-tanya apa yang
sesungguhnya terjadi.
Karena mengetahui siapa saja yang telah dijemput paksa dan siapa saja yang
melakukannya, maka saat itu pada prinsipnya Soeharto dapat melakukan apa
saja yang dikehendakinya, termasuk dengan mudah membasmi pelaku-pelaku G30S
dan mencari kambing hitam untuk dituduh sebagai penanggung jawab atas
peristiwa G30S.
Sebagai orang yang memiliki seluruh informasi, Soeharto secara leluasa
memberlakukan keadaan darurat. Kemudian menelepon Menteri/Panglima Angkatan
Laut Laksamana Madya RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian
Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi Operasi Angkatan
Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada mereka, Soeharto memberi tahu untuk
sementara Angkatan Darat dipegang olehnya, serta meminta agar mereka tidak
mengadakan pergerakan pasukan tanpa sepengetahuannya (dalam hal itu,
Panglima Kostrad).
Sebagai kambing hitam, ia menuduh Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana
Madya Omar Dani berada di pihak yang salah, dan Pangkalan Angkatan Udara
Halim Perdanakusuma disebutkan sebagai markas pelaksana G30S. Dengan
demikian, kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Angkatan Udara Halim
dicitrakan sebagai keberpihakan Soekarno pada G30S.
Itu belum semua. Dengan penguasaannya atas seluruh media massa nasional,
Soeharto berhasil menjadikan versinya atas peristiwa G30S sebagai
satu-satunya kebenaran. Dan, bagi orang-orang yang dianggap "berseberangan"
diberi label terlibat G30S, dan dijadikan tahanan politik.
Sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Sri Mulyono Herlambang, lewat
buku Menyibak Kabut Halim 1965 membantah bahwa Lubang Buaya yang digunakan
sebagai Markas Kelompok G30S berada di wilayah AURI. Tempat tersebut justru
berada di wilayah Angkatan Darat.
PADA tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Mayor Jenderal Soeharto
memerintahkan seorang perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil
Komandan Batalyon 530 Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di
sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan. Karena Mayor Bambang
Soepeno tidak ada ditempat, maka Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten
Soekarbi, yang memimpin pasukan di lapangan, bertanya apakah ia bisa
mewakili. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira
Kostrad itu kembali lagi, dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan
menggantikan Mayor Bambang Soepeno. Tidak lama kemudian datang menghadap
pula Wakil Komandan Batalyon 454 Kapten Koencoro.
Pasukan yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan
adalah anggota dua batalyon yang diundang Panglima Kostrad Mayor Jenderal
Soeharto ke Jakarta untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI pada tanggal 5
Oktober 1965. Sebab itu, Soeharto dengan mudah memanggil pemimpin kedua
batalyon itu, dan memerintahkan agar menarik kembali pasukan mereka ke
Markas Kostrad.
Soekarbi membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa Kostrad tidak tahu
kehadiran pasukannya di sekitar Istana dan Monumen Nasional, mengingat anak
buahnya bolak-balik ke Markas Kostrad untuk menggunakan kamar kecil
(toilet).
Berbeda dengan Soeharto, yang pada pukul 06.30 , sudah mengetahui identitas
pasukan yang berada di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan,
Presiden Soekarno dan regu pengawalnya sama sekali masih tidak tahu-menahu
mengenai apa yang terjadi.
Pada tanggal 30 September 1965, malam, Presiden Soekarno tidak tidur di
Istana Merdeka. Menjelang tengah malam, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka
menuju ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Wisma Yaso, Jalan Gatot
Subroto (kini, Museum Satria Mandala). Dalam perjalanan ke sana, Soekarno
singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ny Dewi, yang tengah menghadiri
resepsi yang diadakan Kedutaan Besar Irak di Bali Room.
Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno
keluar rumah, memasuki mobil kepresidenan, dan bergegas ke Istana Merdeka.
Pagi itu, Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena
dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani.
Di dalam mobil, Suparto, staf ajudan yang mengemudikan mobil itu, memberi
tahu informasi yang diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP)
Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada
penembakan di rumah Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf
Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II
Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan.
Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil
yang baru bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan
meminta penjelasan tentang penembakan tersebut.
Kemudian Soekarno bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu
atau langsung kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak tinggal
di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari Inspektur I
Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi saya perintahkan untuk mengecek
kebenaran berita tersebut."
Mendengar jawaban itu, Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras,
"Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum
diketahui dengan jelas."Soekarno dan regu pengawalnya kemudian meninggalkan
Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. Rencananya mereka akan melalui Jembatan
Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka
Barat, dan Jalan Merdeka Utara.
Sewaktu rombongan Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas,
menjelang Bundaran Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan
membenarkan ada tembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan Dr Leimena. Ia
juga menginformasikan tentang adanya pasukan Angkatan Darat "yang terasa
sangat mencurigakan" di sekitar Istana dan kawasan Monumen Nasional.
Mendengar informasi itu Mangil memutuskan untuk menjauhkan Soekarno dari
pasukan tersebut. Pada saat yang sama, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa
Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat handy-talkie dan
memerintahkan untuk membawa Soekarno ke rumah istrinya yang lain, Ny
Harjati, di kawasan Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid (sekarang).
Rombongan kemudian membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah
Abang Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny Harjati.
Saelan menunggu Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba, pukul 07.00,
Soekarno segera masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan. Soekarno segera
memerintahkan Saelan mengontak semua panglima angkatan. Namun, sejak malam
hingga pagi itu, jaringan telepon lumpuh sehingga Saelan meminta Suparto
untuk menghubungi secara langsung.
Saelan kemudian mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari
tempat yang aman bagi Soekarno. Berbagai gagasan pun bermunculan, tetapi
setelah Suparto kembali pada pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia berhasil
mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya
Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim, maka diputuskan untuk membawa
Soekarno ke sana.
Soekarno menyetujui hal itu karena itu sesuai dengan Standard Operating
Procedure (SOP) Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan
Presiden terjadi sesuatu hal yang mengancam keamanan dan keselamatan
Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke Markas Angkatan Bersenjata
terdekat. Alternatif lain adalah menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim
Perdanakusuma karena di sana ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar.
Atau, pelabuhan Angkatan Laut, tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh.
Atau, bisa juga ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter
kepresidenan Sikorsky S-61V.
Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan
Udara Halim. Presiden disambut Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena, yang
karena ketidaktahuannya atas apa yang terjadi, dapat ditarik ke kubu
Soeharto siang harinya.
Sementara itu, sekitar pukul 06.00, Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan
G30S, berangkat ke Istana untuk melaporkan peristiwa G30S kepada Presiden
Soekarno. Karena Soekarno tidak berada di Istana, Soepardjo sempat menunggu
selama dua jam di sana. Setelah mendapatkan informasi bahwa Soekarno berada
di Halim, maka ia segera menyusul ke Halim. Pukul 10.00, ia bertemu dengan
Soekarno dan melaporkan mengenai gerakannya. Namun, Soekarno menolak untuk
mendukung gerakan itu, dan meminta ia menghentikan gerakannya untuk
menghindari pertumpahan darah.
Namun, penguasaan atas pasukan dan media massa saat itu membuat Soeharto
bisa melakukan tindakan apa saja yang dikehendakinya melalui kaki tangannya.
Bahkan, Soekarno, lewat kesaksian Brigjen Sugandhi, Kepala Pusat Penerangan
Hankam, dan ajudan Presiden Soekarno sendiri, Kolonel Marinir Bambang
Widjanarko, dikatakan bertanggung jawab atas G30S.
Uniknya, Bambang Widjanarko yang memberikan kesaksian bahwa Soekarno
terlibat dalam peristiwa G30S, tetap ditugaskan mendampingi Soekarno sampai
jabatannya sebagai Presiden Indonesia resmi dicabut oleh MPRS.
Kesaksian Sugandhi dibantah oleh Oei Tjoe Tat, yang juga hadir dalam jam
minum kopi pagi (koffie uurtje) pada tanggal 30 September 1965.
Cerita Sugandhi tentang apa yang terjadi pagi itu, menurut Oei Tjoe Tat,
mengada-ada.
Seperti Sugandhi, kesaksian Bambang Widjanarko pun dibantah oleh Kolonel
(CPM) Maulwi Saelan dan Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Sogol Djauhari Abdul
Muchid, bertugas di bagian Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Sogol
disebut Bambang Widjanarko sebagai orang yang menyerahkan surat Untung
tentang penjemputan paksa para jenderal kepada Soekarno tanggal 30 September
1965 malam.
Pertanyaan besar yang mengganjal, adalah mengapa sama sekali tidak ada yang
mempersoalkan, mengapa Soeharto tidak melaporkan adanya gerakan untuk
menjemput paksa para jenderal Angkatan Darat kepada atasannya, Jenderal
Ahmad Yani, yang tewas dalam aksi penjemputan paksa itu? (James Luhulima)

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/message/18467

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/27/opini/1350653.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar