Senin, 26 April 2010

Surat untuk Tengku Abdul Rahman

Surat untuk Tengku Abdul Rahman

SUDAH empat tahun lebih Mohammad Natsir menghuni Wisma Keagungan, rumah tahanan di daerah Kota, Jakarta Pusat. Rezim Orde Lama mengerangkengnya karena dianggap "melawan arus" dengan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada 1958. Sebelumnya ia dua tahun menjadi tahanan di Batu, Jawa Timur.

Soekarno memberaikan rekan pergerakan Natsir: Sjafroeddin Prawiranegara dibuang ke Kedu dan Burhanuddin Harahap ke Pati. Sumitro Djojohadikusumo lebih dulu lari ke luar negeri. Di Wisma Keagungan, Natsir bergabung dengan Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis, yang juga dipenjarakan Orde Lama.

Natsir masih dalam jeruji penjara ketika kekuasaan Soekarno tenggelam. Pada masa transisi, Pejabat Presiden Soeharto mengirim utusan: Sofjar, seorang perwira Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), yang kelak pensiun sebagai brigadir jenderal. Soeharto ketika itu masih menjabat Panglima Komando Cadangan. "Orang suruhan itu ipar dari keponakan saya, yang bekerja di Departemen Penerangan," kata Natsir, dalam sebuah wawancara dengan Agus Basri, mantan wartawan Tempo.

Utusan Soeharto itu bicara tentang usaha pemerintah memulihkan hubungan dengan Malaysia. Ketika itu komunikasi Jakarta dan Kuala Lumpur hancur akibat Soekarno melancarkan operasi "Ganyang Malaysia". Pada awal kekuasaannya itu, Soeharto berniat merajut kembali hubungan.

Soeharto mengirim dua orang kepercayaannya ke Kuala Lumpur, yaitu Ali Moertopo dan Leonardus "Benny" Moerdani. Pe-merintah Malaysia tidak menyatakan keberatan dengan utus-an itu. Tapi, seolah menghindar, Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman mening-galkan Kuala Lumpur sehari sebelum delegasi dari Jakarta datang.

Misi Ali dan Benny gagal. Natsir pun menjadi harapan. Ia dikenal dekat dengan Abdul Rahman. Mereka beberapa kali bertemu, ketika bangsawan asal Kedah itu berkunjung ke Indonesia. Sofjar bertanya cara memulihkan hubungan kedua negara. Natsir menjawabnya dalam surat pendek: "Ini ada niat baik dari pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Mudah-mudahan Tengku bisa menerima."

Sofjar membawa tulisan tangan Natsir itu ke Kuala Lumpur. Dengan bantuan Tan Sri Ghazali Shafii, yang lama duduk dalam kabinet, surat sampai ke tangan Abdul Rahman. Segera setelah membaca surat Natsir, ia -berkata, "Datanglah mereka besok di tempat saya." Delegasi Indonesia diterima esok harinya. Hubungan kedua negara berangsur cair.

Menurut Deliar Noer, -peraih gelar doktor pertama dalam bidang ilmu politik di Indonesia, Natsir menyambut kelahiran rezim baru dengan penuh harapan. "Ia berharap penyelewengan pemerintahan Soekarno bisa diluruskan," Deliar menulis dalam Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa.

Natsir mengeluarkan pernyataan pers yang mendukung Orde Baru, atas permintaan Soedjono Hoemardani, asisten pribadi Soeharto. Permintaan itu disampaikan mantan Duta Besar Republik Indonesia di Roma, Mohammad Rasjid. Sebagai imbalannya, Soedjono berjanji memberikan keleluasaan kepada Natsir dalam melakukan gerakan politik. Ternyata itu janji kosong belaka.

Dibebaskan dari tahanan pada awal 1966, Natsir berniat menghidupkan kembali Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai yang berdiri pada November 1945 dan dibubarkan oleh Soekarno 15 tahun kemudian.

Pada 15 Agustus 1966, apel akbar umat Islam digelar di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Sekitar 50 ribu orang hadir, termasuk Sjafroeddin dan tokoh perge-rakan seperti Prawoto Mangkusasmito, Asaat, Mohammad Roem, dan Kasman Singodime-djo. Mereka menuntut pemerintah mengizinkan pendirian kembali Masyumi.

Soeharto menolak. Tumbuhnya kembali partai-partai lama dianggap akan memicu persoalan. Soeharto juga melarang tokoh -Masyumi memimpin partai yang baru didirikan, yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Para tokoh pergerakan Islam awalnya berharap Natsir memimpin partai itu. Melihat situasi yang tak mungkin, Mohammad Roem dijadikan alternatif. Ternyata ini pun tak berhasil.

Walau terpilih menjadi ketua umum dalam Kongres I Parmusi di Malang, 4-7 November 1968, Roem dilarang tampil. Penguasa belakangan merestui H.M.S. Mintaredja yang akomodatif dengan pemerintah. Dialah yang kemudian mengubah -Parmusi menjadi Muslimin Indonesia, lalu berfusi dengan PSII, Perti, dan Nahdlatul Ulama ke dalam Partai Persatuan Pembangunan pada 1973.

Menurut Yusril Ihza -Mahendra, yang pernah bekerja seruang dengan Natsir di Lembaga Pusat Pengembangan Masyarakat, Cikini, Jakarta, sang tokoh tak kecewa dengan kegagalan menghidupkan kembali Masyumi. Belasan tahun kemudian, Natsir berkata kepada Yusril: "Partai itu kan tergantung kita. Kalau merasa tidak perlu ada partai, nggak usah bikin partai." Natsir pun keluar dari jalur politik: mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Toh, ia tetap banyak membantu rezim Soeharto. Pada 1971, misi Soeharto ke Jepang untuk memperoleh kredit gagal. Tak lama setelah itu, Natsir berkunjung ke Jepang. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh Kaidanren, organisasi pengusaha negeri itu. Ia meyakinkan kelompok pengusaha itu agar tak mengabaikan Indonesia.

Para pengusaha itu menjelaskan bahwa Soeharto datang pada waktu yang salah. Mereka berharap kunjungan dilakukan setelah Undang-Undang Kredit selesai dibuat. Mereka juga telah menyampaikan hal itu sebelumnya kepada Departemen Luar Negeri Indonesia. Tapi Soeharto tetap pergi.

Takeo Fukuada, yang ketika itu menjadi Menteri Keuangan Jepang, mengatakan pada 1993, "Beliaulah yang meyakinkan kami tentang perjuangan masa depan pemerintah Orde Baru di Indonesia." Walhasil, Jepang mengucurkan pelbagai bantuan dan pinjaman guna menopang ekonomi Indonesia yang runtuh pada akhir rezim Orde Lama.

Pengaruh Natsir di negara-negara Timur Tengah juga banyak membantu rezim Orde Baru. Suatu hari pada 1970, Ekki Sya-chroeddin menemuinya. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam itu menyampaikan pesan Ali Moertopo, staf khusus Soeharto, agar Natsir menjajaki kredit dari negara-negara Arab. "Saya katakan kepada Ekki, baik saya bersedia. Tak perlu dibiayai, sebab saya memang akan ke sana untuk -kongres," Natsir bercerita kepada Tempo pada 1971.

Natsir meminta syarat kepada Ekki: sebelum berangkat dipertemukan dengan Soeharto. "Tidak usah lama, tiga menit saja," katanya. "Agar kalau berbicara di sana ada harganya. Sebab, saya orang partikelir." Hingga mantan perdana menteri itu berangkat, pertemuan tak dilakukan. Tapi Natsir tetap memenuhi permintaan Ali Moertopo.

Ia mengirim surat kepada pemerintah Kuwait: "Saya beberkan bahwa selama ini mereka menanam uang mereka ke Eropa, yang justru menguntungkan Yahudi. Mengapa mereka tidak juga mengirimkan uang mereka ke Indonesia?" Surat yang profokatif itu tak direspons.

Suatu malam Ali Moertopo datang ke rumah Natsir. Merasa gagal memenuhi keinginan pemerintah, Natsir minta maaf kepada tamunya. Tapi Moertopo berkata: "Sudah berhasil. Pemerintah Kuwait setuju menanam modalnya di bidang perikanan laut."

Tentu Natsir gerah dengan berbagai penyimpangan re-zim Soeharto. Pada 1980, ia menandatangani Petisi 50 bersama tokoh seperti Sjafroeddin, Kasman, Boerhanoeddin, Abdul Harris Nasution, Anwar Harjono, juga Ali Sadikin. Mereka mempersoalkan pidato Soeharto di Pekanbaru dan Cijantung. Hasilnya, mereka semua dilarang pergi ke luar negeri.

Larangan itu terus dikenakan- kepada Natsir pada 1990, keti-ka- Universiti Kebangsaan Malay-sia- dan Universiti Sains Pulau Mi-nang mengundangnya untuk menerima gelar doktor kehormatan. Ia juga tetap dicekal di ujung usianya, ketika beberapa negara menawarinya berobat. Ia -tutup usia di Rumah Sakit Cipto Ma-ngunkusumo, Jakarta, pada Sabtu tengah hari, 6 Februari 1993.

Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, mengenang perjumpaan terakhirnya dengan Natsir di rumah sakit. "Saya sedih melihat keadaan rumah sakit yang tidak layak untuk seorang pemikir besar Islam. Beliah layak mendapatkan layanan yang lebih baik," kata Anwar.

Rezim Orde Baru yang banyak dibantu Natsir melupa-kan sang tokoh di akhir hayatnya.

14 Juli 2008
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127674.id.html

Kesaksian Soeharto melalui Otobiografinya

Kesaksian Soeharto melalui Otobiografinya

Di berbagai media, Kolonel Latief mengaku berbicara kepada Soeharto di RSPAD tentang rencana "besok pagi jenderal-jenderal yang tergabung dalam Dewan Jenderal (yang) akan dihadapkan kepada Presiden...". Sementara itu, Soeharto, semasa jadi presiden, melalui buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, yang ditulis oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., menyatakan versi yang berbeda. Untuk keseimbangan berita, berikut adalah kutipan dari buku tersebut.

Mengatasi "G30S-PKI"

"Tanggal 30 September 1965, kira-kira pukul 9 malam, saya bersama istri saya berada di Rumah Sakit Gatot Soebroto. Kami menengok anak kami, Tommy, yang masih berumur empat tahun, dirawat di sana karena tersiram air sup yang panas. Agak lama juga kami berada di sana, maklumlah menjaga anak yang menjadi kesayangan semua. Kira-kira pukul sepuluh malam saya sempat menyaksikan Kol. Latief berjalan di depan zaal tempat tempat Tomy dirawat. Kira-kira pukul dua belas seperempat tengah malam saya disuruh oleh istri saya cepat pulang ke rumah di Jalan Haji Agus Salim karena ingat kepada Mamik, anak perempuan kami yang bungsu, yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggalkan Tommy dan ibunya tetap menungguinya di rumah sakit. Sesampai di rumah saya berbaring dan bisa cepat tidur. Tapi kira-kira setengah lima subuh, tanggal 1 Oktober, saya kedatangan seorang cameraman TVRI, Hamid. Ia baru selesai melakukan shooting film. Ia memberi tahu bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat. Saya belum berpikir panjang waktu itu. Setengah jam kemudian tetangga kami, Mashuri, datang memberi tahu bahwa tadi ia mendengar banyak tembakan. Mulailah saya berpikir agak panjang. Setengah jam kemudian datanglah Broto Kusmardjo, menyampaikan kabar yang mengagetkan, mengenai penculikan atas beberapa Pati (perwira tinggi) Angkatan Darat. Maka, segeralah saya bersiap dengan pakaian lapangan. Pukul enam pagi, Letkol Sayidiman, atas perintah Pak Umar Wirahadikusumah, melaporkan bahwa di sekitar Monas dan Istana banyak pasukan yang tidak dikenalnya...."

"Kepada Letkol Sadjiman saya sempat berkata bahwa saya sudah mendengar tentang adanya penculikan terhadap Pak Nasution dan Jenderal A. Yani serta Pati AD lainnya. "Segera kembali sajalah, dan laporkan kepada Pak Umar, saya akan cepat datang di Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat," kata saya kepada Sadjiman. Dengan segala yang sudah siap pada diri saya, saya siap menghadapi keadaan..."

"Radio sudah disetel. Pukul 07.00 tepat saya mendengarkan siaran RRI pertama mengenai "Gerakan 30 September" yang dipimpin oleh Letkol Untung. Deg, saya segera mendapatkan firasat. Lagipula, saya tahu siapa itu Letkol Untung. Saya ingat, dia seorang yang dekat, rapat dengan PKI, malahan pernah jadi anak didik tokoh PKI, Alimin...".

"Saya banyak mengenal Untung sejak lama," kata saya. "Dan Untung sendiri sejak 1945 merupakan anak didik tokoh PKI Alimin." Saya jelaskan pikiran saya mengenai pernyataan Untung bahwa gerakannya seolah-olah hanya untuk menghadapi apa yang dikatakannya Dewan Jenderal yang akan mengadakan kup sehingga mereka mendahului bertindak dengan menculik para pimpinan Angkatan Darat.

"Ia mempergunakan dalih untuk menyelamatkan Presiden Soekarno," kata saya. "Kenyataannya, Presiden Soekarno saat ini tidak ada di Istana.... Dewan Jenderal itu tidak ada. Apalagi Dewan Jenderal yang akan melakukan kegiatan politik, melakukan kup terhadap negara dan bangsa. Itu sama sekali tidak ada...."

06 Oktober 1998
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/06/WAW/mbm.19981006.WAW95791.id.html

Minggu, 25 April 2010

JEJAK HITAM SOEHARTO

JEJAK HITAM SOEHARTO

Rabu, 17 Mei 2006, 19:18:18

(1) Senyum Suharto: Yang Buram dari Manusia Langka

SUMBER informasi tentang Jenderal Suharto tentulah cukup melimpah, baik sumber “klasik” seperti karya OG Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, Prof Dr Donald W Wilson, The Long Journey From Turmoil To Self-Sufficiency, tentu saja juga otobiografinya yang dituliskan oleh Brigjen G Dwipayana dan Ramadhan KH dan masih banyak lagi, tentu termasuk buku yang dicetak luks, Jejak Langkah Pak Harto. Belakangan terdapat cukup banyak sumber “posmo” seperti Soeharto, Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat, berisi kajian kepribadian dan tingkah laku politik, dan masih banyak lagi seputar Suharto dalam hubungannya dengan pembahasan rezim Orba dengan segala macam aspek dan tetek bengeknya (lihat Daftar Pustaka). Dan yang mutakhir adalah karya akademisi Australia Robert E Elson, Suharto, A Political Biography (Oktober 2001) yang diluncurkan di Jakarta pada 21 Januari 2002 di CSIS.

Hal ini amat berbeda bila kita hendak mencari informasi tentang DN Aidit, Syam Kamaruzaman, Letkol Untung dan yang lain. Apalagi bahan-bahan tentang mereka ini telah diringkus oleh penguasa Orba, selama 32 tahun bagi mereka yang mencoba-coba hendak menyentuhnya serta merta terkena palu subversi. Tentulah daya tarik Suharto jauh lebih hebat, juga setelah tumbang, dengan bahan bertebaran di seluruh media massa selama 32 tahun kekuasaan dan sesudahnya.

Hal itu tidak berarti bahwa segala sesuatu tentang Jenderal Suharto lalu menjadi terang benderang. Masih sederet masalah yang buram, atau barangkali sebagian akan tetap buram di sepanjang sejarah sampai ia meningggalkan kita semua. Mungkin menarik untuk dianalisis dari segi ilmu psikologi seperti yang dicontohkan oleh Laboratorium Psikologi Sosial Universitas Indonesia terhadap Suharto berupa analisis psikobiografi dan analisis kualitatif terhadap pidato-pidato nonteksnya (Bagus Takwin cs 2001:8).

Mungkin saja Suharto menikmati timbulnya keburaman sejarah seputar dirinya seperti soal Surat Perintah 11 Maret. Sedang keburaman tentang soal Serangan Umum 1 Maret 1949, belakangan dengan telak telah dibuktikan bahwa dengan sengaja telah disebarkan oleh Suharto. Pembengkokan dan pemalsuan sejarah yang dilakukannya sekedar untuk memberikan tambahan legitimasi terhadap dirinya.

Tidak berlebihan kalau sosok Suharto disebut sebagai manusia langka. Selanjutnya muncul berbagai macam spekulasi akan latar belakang keluarga, budaya, pendidikan, serta strategi dan taktiknya untuk mendapatkan kekuasaan (Bagus Takwin cs 2001:11). Mungkin sekali hal ini berhubungan dengan berbagai keburaman yang sengaja atau tidak sengaja ditebar sekitar dirinya sebagaimana riwayat Ken Arok pun penuh misteri, yang melalui pundak kambing hitam Kebo Ijo telah melakukan kudeta terhadap raja Jayakatwang dari Tumapel pada abad ke 13, bahkan sekaligus mempersunting permaisuri cantik jelita Ken Dedes.

Buku asli OG Roeder berjudul The Smiling General, President Soeharto of Indonesia (Gunung Agung, 1969). Seperti kita ketahui di depan publik Suharto memang boleh dibilang selalu tersenyum. Dalam kata pendahuluan ditulis, “Dengan senyum khas menyelubungi segala emosi yang sanggup membikin para diplomat kehilangan akal...” (Roeder, 1977:xiii).

Dalam buku lain yang ditulisnya, Indonesia, A Personal Introduction (1987), Roeder mengartikan senyum orang Indonesia dapat juga “be ironical, cunning and tricky” (“berarti kebalikannya, licik dan penuh tipu daya”), kita tidak tahu yang mana mungkin hendak diterapkan oleh Roeder untuk senyum Suharto.

Suharto memulai karier militernya sebagai kopral KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) alias tentara penjajah Belanda pada 1940-an di Batalion XIII di Rampal, Malang. Karena prestasinya ia segera naik pangkat menjadi sersan. “Kariernya menjadi buah pembicaraan kawan-kawan sesama tentara, oleh karena umumnya orang-orang dari Jawa mengalami diskriminasi dalam KNIL jika dibandingkan dengan orang Maluku dan Sulawesi Utara yang dianggap ‘lebih setia’…” (Roeder 1977:171).

Perjalanan karier yang cemerlang ini di samping karena ketekunan Kopral KNIL Suharto tentunya juga kesetiaannya menjadi pertimbangan penting. Pada saat yang sama Bung Karno dan banyak pemimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda sedang mengalami pembuangan; bahkan seorang jurnalis perintis, pemimpin Sarekat Islam sekaligus sastrawan komunis Mas Marco telah beberapa tahun meninggal di pembuangan Boven Digul*. (Bersambung)


*Mas Marco [Kartodikromo] (1890-1935), pernah menjabat Sekretaris Sarekat Islam Sala, pendiri Inlandsche Journalisten Bond 1914. Karena artikel-artikelnya ia dijebloskan ke penjara pada 1917-1919. Ia masuk PKI bersama Semaun, Darsono, Tan Malaka, Alimin dsb. Dibuang ke Boven Digul pada 1927 dan meninggal di sana pada 1935. Salah satu novelnya Student Hijo (1918) telah diterbitkan kembali pada tahun 2000 dalam dua versi masing-masing oleh Aksara Indonesia dan Bentang, keduanya dari Yogya.


(2) Suharto dan Tujuh Jenderal Korban G30S

PERTAMA-TAMA perlu kita simak bagaimana hubungan Mayjen Suharto dengan ketujuh jenderal rekannya yang kemudian menjadi target pembunuhan G30S. Menurut Letkol Untung mereka tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Jenderal Nasution luput dari percobaan penculikan dan pembunuhan, sedang enam jenderal yang lain yang terbunuh, Letjen Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen Sutoyo, Brigjen Panjaitan.

Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.

Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoto dan digantikan oleh Pranoto. Kasus Suharto tersebut akhirnya dibekukan karena kebesaran hati Presiden Sukarno (D&R, 3 Oktober 1998:18).

Nasution mengusulkan agar Suharto diseret ke pengadilan militer, tetapi tidak disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto. Kemudian ia dikirim ke Seskoad di Bandung. Suharto sendiri dalam otobiografinya mencatat persoalan itu sebagai menolong rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka ia mengambil prakarsa untuk melakukan barter gula dengan beras dari Singapura (Soeharto 1989:92). Ia tidak menyinggung sama sekali adanya tim penyelidik dari MBAD. Selanjutnya ketika Suharto hendak ditunjuk sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh Brigjen Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak, 5 Oktober 1998:5), artinya moral Suharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch 1999:104). Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan dengan ke tujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya. Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Suharto mendapatkan tempat terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Suharto benar-benar tidak “sebodoh” yang diperkirakan Jenderal Nasution, juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno.

Jenderal Suharto dan Jenderal Suwarto

Di Bandung Kolonel Suharto bertemu dengan Kolonel Suwarto, Wadan Seskoad, hal ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup Suharto selanjutnya. Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung yang telah berdiri sejak 1951 ini merupakan sebuah think tank AD, pendidikan militer Indonesia tertua, terbesar dan paling berpengaruh. Seskoad telah menjadi tempat penggodogan perkembangan doktrin militer di Indonesia. Sampai 1989 telah meluluskan 3500 perwira. Para alumninya menjadi tokoh terkemuka dalam pemerintahan. Hampir 100 orang menjadi sekretaris jenderal, gubernur, pimpinan lembaga-lembaga nasional atau badan-badan non departemental. Presiden, Wakil Presiden, dan lebih 30 menteri merupakan alumni Seskoad.

Suwarto sendiri pernah menempuh pendidikan Infantry Advance Course di Fort Benning pada 1954 dan Command and General Staff College di Fort Leavenworth, AS pada 1958. Ia bersahabat dengan Prof Guy Pauker, konsultan RAND (Research and Development Corporation) yang dikunjunginya pada 1963 dan 1966. Suwartolah yang menjadikan Seskoad sebagai think tank politik MBAD, mengarahkan para perwira AD menjadi pemimpin politik potensial (Sundhaussen 1988:245).

Seskoad memancarkan pamornya sebagian besar karena jasa Suwarto, sangat besar perannya dalam perkembangan politik. Karena jasanya pula maka Seskoad menjadi pusat pemikiran politik serta menghadapi perkembangan PKI (Hidayat Mukmin 1991:125). Guy Pauker adalah pengamat masalah Asia, orang penting dalam Rand Corporation, kelompok pemikir (think tank) CIA*. Sejak itu Seskoad biasa disebut sebagai negara dalam negara, membuat garis politiknya sendiri, bahkan mempunyai perjanjian kerjasama dan bantuan dari AS terlepas dari politik pemerintah RI.

Suharto, murid baru yang masuk pada Oktober 1959 ini telah mendapatkan perhatian besar dari sang guru. Pada awal 1960-an Suharto dilibatkan dalam penyusunan Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD dalam segala segi kegiatan pemerintah dan tugas kepemerintahan. Peran Suharto dalam civic mission menempatkan dirinya dan sejumlah opsir yang condong pada PSI dalam pusat pendidikan dan pelatihan yang disokong oleh CIA lewat pemerintah AS, suatu program bersifat politik (Scott 1999:81). Pada masa Bandung Kolonel Suharto inilah agaknya hubungan Suwarto-Syam-Suharto-CIA mendapatkan dimensi baru (Hanafi 1998:20-25).

Penyempurnaan Doktrin Perang Wilayah dan civic mission menjadi suatu doktrin strategis intervensi politik AD menjelang 1965, suatu proses ideologis mempersiapkan dan mematangkan AD dalam melakukan pengoperan kekuasaan. Perkembangan selanjutnya, Jenderal Suwarto menjadi orang penting sebagai penasehat politik Jenderal Suharto. Doktrin tersebut yang mewarnai pernyataan Jenderal Suharto pada 16 Agustus 1966 untuk memenuhi desakan Pauker bahwa AD harus memainkan peran kepeloporan di semua bidang (Scott 1999:82).

Dalam sambutannya ketika melantik Letjen Panggabean menjadi Wapangad pada hari tersebut, Jenderal Suharto mengatakan bahwa pengesahan Supersemar oleh MPRS berarti penugasan pemerintahan dengan ruang lingkup luas. Hal itu merupakan penghargaan dan kepercayaan kepada ABRI umumnya dan AD khususnya. Doktrin Tri Ubaya Cakti yang telah menegaskan tuntutan AD untuk memiliki peran politik mandiri disusun kembali oleh Jenderal Suwarto dan mengenai peran AD ditegaskan lebih lanjut seperti penekanan Pauker dalam peran kontra revolusionernya (Scott 1999:82-83). Dengan belajar dari Rand Corporation kemudian Ali Murtopo cs dengan restu Suharto mendirikan lembaga kajian yang disebut CSIS (Centre for Strategic and International Studies) sebagai think tank Orde Baru. (Bersambung)



* Rand Corporation didirikan pada 1948, mula-mula sebagai think tank AU Amerika (USAF) kemudian meluas bagi pemerintah AS. Kajian yang dilakukannya di samping masalah-masalah militer juga meliputi masalah politik, sosial, ekonomi, budaya, hubungan internasional, kekuatan-kekuatan lokal-regional-global. Kaki mereka berpijak pada pemerintah AS (CIA), lembaga pendidikan tinggi, dan perusahaan-perusahaan industri raksasa. Badan ini melakukan kontak dan hubungan informal termasuk dengan Seskoad di Bandung (Lihat Harry Tjan Silalahi ‘Think Tank’ dalam CSIS Sekar Semerbak, Kenangan Untuk Ali Moertopo, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta, 1985:334-341).



(3) Suharto dan Feodalisme Baru

SEMENTARA orang menganggap Suharto termasuk tokoh langka, ia berkuasa selama 32 tahun terus-menerus tanpa istirahat sejenak pun. Sepanjang kekuasaannya ia terus-menerus mematerikan sosok dirinya agar menjadi ciri tak terpisahkan dari bangsa ini. Ia biasa berbicara dengan menggunakan akhiran ‘ken’ dan ‘aken’ yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar alias bahasa baku, dan ini memang digunakan oleh banyak penutur bahasa Jawa ketika berbahasa Indonesia, terutama dalam jaman baheula. Di samping itu ia tak putus-putusnya menggunakan gaya bahasa khas dirinya yakni ‘daripada’ dan ‘semangkin’ yang sudah begitu dikenal oleh seluruh bangsa dan yang sering membuat kesal pemerhati bahasa Indonesia.

Dan pada jamannya gaya itu, lengkap dengan ‘ken’ dan ‘aken’, beramai-ramai diteladani oleh para pembesar Orde Baru, sejak yang berasal dari suku Batak sampai Papua dan suku lain, tak usah dibilang lagi yang berasal dari suku Jawa.

Ketika berkuasa Suharto amat menyukai segala macam upacara seremonial yang biasanya menghabiskan waktu dan biaya serta melibatkan banyak tenaga. Upacara-upacara semacam itu tentu saja beramai-ramai diteladani juga oleh para pengikutnya yang takut ketinggalan kereta. Pada ujungnya upacara semacam itu melibatkan para pengusaha dan rekanan dengan punglinya. Hal ini selalu diacungi jempol oleh Suharto sebagai memelihara dan melestarikan budaya bangsa, sementara apa yang dinamai pembangunan telah merusak budaya suku-suku Papua atau Dayak misalnya, sementara rezim Orba sedang membangun dan memelihara feodalisme baru.

Seperti kita ketahui Suharto amat menyukai simbol-simbol budaya Jawa. Ketika membicarakan Bapak Bangsa Sukarno lama setelah wafatnya, tak jemu-jemunya ia mengucap mikul dhuwur mendhem jero, seolah ia benar-benar orang yang menghormati Bung Karno, menghormati jasa-jasanya, tidak ingin dan tidak suka mengungkit-ungkit kesalahan dan aibnya, seolah tak ingin sedikit pun melukai hati para kerabat dan pengikut setia Bung Karno. Tetapi apa sebenarnya yang telah diperbuatnya terhadap Bung Karno sebagai Presiden maupun sebagai pribadi setelah kekuasaannya ia jarah? Terutama pada tahun-tahun akhir hayatnya, Bapak Bangsa itu sungguh-sungguh diperlakukan dengan tidak adil dan sewenang-wenang oleh rezim Suharto dan Suharto pribadi.

Mungkin ada orang yang mengatakan berlebihan kalau penulis menyimpulkan bahwa Suharto merupakan tipe orang yang munafik, bertolak belakangnya antara kata dan perbuatan. Coba bayangkan Suharto dengan senyum tipis cerah memberikan perintah kepada seorang komandan tempur: “Bereskan!” Sang komandan bisa berdegup jantungnya karena itu artinya tak lain daripada ‘bunuh’.

Kata-kata mikul dhuwur mendhem jero itu ia ulangi berkali-kali pada masa akhir kekuasaannya. Agaknya ia memberikan sinyal atau menuntut diperlakukan sebaik-baiknya ketika tak lagi menjadi presiden nanti karena jasa-jasanya telah memberikan corak warna luar biasa pada negara dan bangsa ini, lengkap dengan juara dunia korupsinya. Pendeknya jangan diungkit-ungkit aib korupsi yang memalukan bangsa ini, sedang jutaan rakyat menderita berkepanjangan antara lain karena ulah para koruptor itu.

Ungkapan Jawa itu pun diartikan Suharto sebagai menjaga rahasia keluarga, kalau perlu dengan pengorbanan jiwa dan raga. Dalam rangka menjaga nama baik keluarga inilah diduga orang sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku politiknya, terutama dalam menutupi dan membela perilaku buruk [dan jahat, hs] bisnis anak-anaknya (Bagus Takwin cs 2001:25).

Ada ungkapan-ungkapan Jawa lain yang tidak begitu populer. Suharto pernah mengucapkan tekad yang berbunyi apa mukti apa mati, tekad itu diperkuat dengan tiji tibeh (mati siji mati kabeh), mati untuk mukti bersama kroninya, sesuatu yang tidak dikenal dalam ajaran Jawa. Suharto juga dikenal sebagai “penganut kejawen”, antara lain melaksanakan apa yang disebut sebagai laku prihatin, yang konon dipraktekkan oleh Suharto misalnya dengan kungkum di sungai pada tengah malam gelap gulita sesuai dengan petunjuk sang “penasehat spiritual” alias pak dukun sebagai yang sering didesas-desuskan. Masih dalam kerangka petunjuk ini terdapat catatan seorang mantan tapol di Nusakambangan yang mungkin belum pernah diceritakan orang.

Menjelang pemilu tahun 1971, dengan helikopter datang tamu istimewa ke Nusakambangan, Brigjen Sujono Humardani, pembantu [dukun] penting Presiden Suharto. Ia tidak mengenakan seragam jenderalnya, tetapi memakai pakaian adat Jawa, juga semua pengiringnya. Maka sejumlah [budak bernama] tapol dikerahkan untuk memikul perahu kayu ke pantai selatan Nusakambangan dengan menembus hutan bagi rombongan sang jenderal untuk mengangkutnya menuju sebuah pulau kecil tak jauh dari pantai.

Konon di pulau itu tumbuh kembang Wijayakusuma yang sudah begitu tersohor dalam dongeng di kalangan suku Jawa. Jenderal Humardani bertapa seorang diri di pulau tersebut, menunggu merekahnya kembang Wijayakusuma. Konon hal itu atas permintaan Suharto, atau barangkali usulan Humardani yang disetujui Suharto. Tugas pun diselesaikan dengan sukses karena bunga Wijayakusuma kembang merekah ketika Jenderal Humardani menyepi di situ, hal itu pertanda pemilu akan dimenangkan oleh Golkar. Demikian catatan yang sempat dibuat seorang tapol (Ir Djoko Sri Muljono, naskah belum terbit, 1999).

Tentu masih segar dalam ingatan kita semua akan kata-kata Suharto yang juga diucapkan beberapa kali sebelum benar-benar turun, atau terpaksa turun oleh tekanan rakyat dengan mahasiswa sebagai pelopornya, lengser keprabon, atau lengkapnya lengser keprabon madeg pandhito ratu. Memang selama berkuasa ia bertindak sebagai Raja RI. Ketika Ramadhan KH mulai menyusun Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, maka Brigjen G Dwipayana begitu hormatnya dengan bahasa Jawa krama halus sambil mengangkat ibu jarinya dengan kata-kata meniko, meniko (Ramadhan dalam Chambert-Loir1999:585).*

Dalam salah satu kesempatan Ramadhan, si penulis mempertanyakan kalimat Suharto berikut kepada Dwipayana, “Mengenai kesalahan, saya berpikir, ‘Siapa yang mengukur salah itu? Siapa yang menyalahkan?’ Sekarang, misalnya, pekerjaan saya sudah saya laksanakan, berjalan baik dan berhasil, menurut ukuran saya. Tetapi kalau ada orang lain yang melihat hasil pekerjaan saya itu dari segi yang lain, lalu menilai salah atau gagal, maka saya akan berkata, ‘Itu urusan mereka’. Saya percaya, bahwa apa yang saya kerjakan, setelah saya memohon petunjuk dan bimbingan-Nya, itu adalah hasil bimbingan Tuhan” (Soeharto 1989:563).

Maka Dwipayana menjawab, “Begitulah Pak Harto. Dan pemimpin Jawa tidak boleh kelihatan cacatnya di depan rakyat” (Ramadhan/Chambert-Loir 1999:599). Demikianlah pada saat Sang Raja RI tanpa cela mengundurkan diri baik-baik dengan kemauan baiknya untuk selanjutnya mengabdikan dirinya kepada Yang Maha Agung sebagaimana dongeng raja-raja jaman dahulu kala, tentulah akan diperlakukan baik-baik juga.

Bagaimana mungkin seorang yang mempunyai kemauan begitu baik, mengundurkan diri dan melepaskan diri dari segala kekuasaan, guna mengabdi kepada sesuatu yang lebih tinggi, akan diseret sebagai koruptor penjahat kriminal? Bagaimana mungkin seorang semacam itu hendak diseret ke pengadilan lain karena kejahatan terhadap kemanusiaan? Bahkan Prof Richard Tanter dari Kyoto Seika University menyarankan adanya pengadilan internasional bagi Jenderal Suharto dan sejumlah jenderal lain karena kejahatan terhadap kemanusiaan, paling tidak dua kejahatan besar yakni pembunuhan besar-besaran pada 1965/1966 serta pembunuhan ratusan ribu warga Timor Lorosae ketika dicaplok oleh Indonesia Orde Baru (Tanter Inside Indonesia Jul-Sept 1998:1).

Ada kejahatan “lebih kecil” yang terang-terangan diakui Presiden Suharto pada 1988 dalam otobiografinya, yakni apa yang disebut ‘penembak misterius’ alias ‘petrus’ yang telah membunuh ribuan mereka yang disebut terlibat kejahatan kriminal keterlaluan. Suharto mengakui bahwa itu perintahnya. “Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan…” (Soeharto 1989:389-390). Dengan yang “kecil” ini saja Suharto sudah dapat diseret ke meja hijau. Seperti kita ketahui para ‘petrus’ itu setelah membunuh korbannya secara gelap, sering memasukkan mayat itu ke dalam karung dan meletakkan di pinggir jalan, di perempatan, dilempar ke kali dsb yang mudah dilihat khalayak ramai.

Sebelumnya ketika PBB pun mempersoalkan kejadian itu, maka bahasa diplomatik pun menjelaskan sebagai “itu terjadi karena tembak-menembak antargeng” (Ramadhan/Chambert-Loir 1999:590). (Bersambung)




1 Ketika Ramadhan menjawab mau pikir-pikir untuk menuliskan riwayat Suharto, maka Birgjen G Dwipayana menyatakan, “…saya tidak mau dengar Pak Ramadhan menolak!” Sang penulis pun seperti terpaksa mengingat isterinya sebagai pegawai negeri, “…Mau coba-coba melawan keinginan Presiden Soeharto waktu itu?” Selanjutnya “…di tengah suasana yang sudah mencekam terbentuk menakutkan kalau kita melawannya”. Pada penutup penuturannya Ramadhan menyatakan, “Waktu pekerjaan saya rampung sudah dan bukunya terbit, bukan main senangnya saya…”.




(4) Suharto, Semar dan Supersemar

SEPERTI kita ketahui dalam pewayangan Jawa, Semar bukan sekedar ayah spiritual anak-anaknya yakni Gareng, Petruk dan Bagong, ia juga pengasuh para ksatria. Di samping itu Ki Semar juga merupakan aktualisasi atau penjelmaan Dewa dari kahyangan untuk ikut melempangkan kehidupan dunia manusia yang carut-marut. Ki Semar dan kerabatnya selalu membuat gara-gara dalam artian positif dalam adegan goro-goro ketika para penonton wayang kulit semalam suntuk mulai mengantuk maka mereka perlu dibangunkan dengan mengocok perut, berisi celetukan dan sekaligus kritik santai dan kocak tentang kehidupan sehari-hari.

Ki Semar selalu memberikan pendapat dan nasehatnya yang bijak bestari bukan saja kepada kerabatnya, utamanya juga kepada para ksatria yang resminya menjadi majikan tempat mereka mengabdi.

Dalam banyak kesempatan pada puncak kekuasaannya, Suharto mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh Semar, penjelmaan sang dewata. Bagi Suharto bukanlah kebetulan kalau ia ditakdirkan untuk menjadi pengemban apa yang disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), Semar yang super, lebih dari sekedar Ki Semar. Jean-Luc Maurer menyebut akronim ini sebagai “mahabintang permainan kata-kata akronim” sepanjang Orba. Seperti ditulis Niels Mulder,

“…tak bisa disangkal bahwa banjir formula bak mantra (seperti Kebangkitan Nasional Kedua, tinggal landas, manusia Pancasila, Pesta Demokrasi, poleksosbudhankam….), semakin menggila pada zaman Orde Baru. Kemunculannya saja sudah diawali dengan kata bertuah Supersemar, yang mendatangkan berkah Tuhan Jawa, nenek moyang ras Jawa. Kata Super itu bahkan menunjuk manifestasi ketuhanannya yang sempurna…” (Mulder 2001:99).

Di sepanjang sejarah modern di Jawa ketika krisis memuncak dan terus-menerus mendera kehidupan rakyat luas sebagai tak tertanggungkan, maka harapan akan datangnya Ratu Adil menjadi kepercayaan yang menghibur rakyat banyak dan membuatnya bertahan hidup.

“Belakangan harapan mesianistis seperti itu tampaknya dilekatkan pada Semar, roh penunggu Jawa jang… mereprentasikan rakyat jelata berikut kesengsaraan mereka” (Mulder 2001:24).

Dengan raibnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sampai saat ini, sedang yang ada dua macam fotokopi, maka tak lain seluruh tindakan Jenderal Suharto berdasarkan surat perintah palsu atau yang dipalsukan. Dan itulah yang selalu digembar-gemborkan Suharto sebagai tindakan konstitusional yang diamini lembaga tertinggi negara MPRS dan para pakar pendukungnya.

Suharto: ‘Mr Alibi’

Dengan agak kocak tetapi dengan landasan sejarah yang amat menarik untuk diteliti lebih cermat, sejarawan Dr Asvi Warman Adam memberikan julukan kepada Jenderal Besar Suharto sebagai ‘Mr Alibi’. Yang dimaksudkan sejarawan ini, Suharto ahli dalam mencari alibi, orang patut mencurigainya.

Ketika terjadi G30S ia berada di rumahnya di Jl Haji Agus Salim setelah pulang dari RSPAD Gatot Subroto dan segera tidur. Waktu Supersemar ia tidak menghadiri sidang kabinet dan juga tidak menghadap Presiden Sukarno dengan alasan sakit, padahal malam harinya memimpin rapat di Kostrad. Ketika terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998 ia ada di Kairo.

Julukan Mr Alibi ternyata tepat bila kita runut riwayat Suharto ke belakang. Sejak dini sebagai Republik muda, negeri ini telah diliputi gonjang ganjing politik di samping menghadapi ancaman kembalinya penjajah Belanda. Salah satu peristiwa menggemparkan yang tersohor selama revolusi fisik yakni penculikan Perdana Menteri Syahrir pada 28 Juni 1946 dan percobaan kudeta yang terkenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946.

Letkol Suharto sebagai Komandan Resimen yang membawahi Yogyakarta sebagai ibukota Republik ketika itu berada juga di balik komplotan tersebut. Pada 2 Juli 1946 dua batalion tentara komplotan berkumpul di markas Letkol Suharto, lalu dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan Telkom. Satu batalion di bawah Letkol Suharto, yang lain di bawah Mayor Abdul Kadir Yusuf. Setelah itu mereka menyerbu penjara Wirogunan untuk membebaskan para penggerak penculikan Syahrir dan dibawa ke markas Suharto.

Keesokan harinya percobaan kudeta 3 Juli 1946 gagal. Pada saat yang tepat Suharto berbalik arah, ia menangkapi anggota komplotan, yang sebagian sudah ada di markasnya. Ia berdalih keberadaannya dalam komplotan untuk menggagalkan mereka. Seperti dicatat dalam sejarah komplotan itu dikendalikan oleh kelompok Tan Malaka bersama Mayjen Sudarsono, Panglima Divisi III Yogyakarta, atasan langsung Letkol Suharto.


Menurut pengakuan Suharto kepada penulis biografinya, setelah ia dipanggil oleh Presiden Sukarno yang ketika itu mengambil alih pemerintahan untuk sementara di tangannya dengan perintah menangkap Mayjen Sudarsono, ia “mengundang” atasannya itu ke markasnya dan melakukan “musyawarah”. Selanjutnya pengakuan Suharto menyatakan ia akan melindungi pemerintah terhadap komplotan jahat dari perwira-perwira yang memberontak.

Kemudian Suharto juga mencatat bahwa karena atasannya Mayjen Sudarsono hendak menipu dirinya karena ia dianggap tidak mengerti persoalannya, maka ia pun kemudian ganti menipunya dengan melaporkan ke Istana Presiden tentang rencana atasannya tersebut. Keesokan harinya pada 3 Juli ketika Mayjen Sudarsono cs muncul di istana, mereka ditangkap pengawal (Soeharto 1989:38).

Dengan berlalunya berbagai kemelut maka Suharto muda mencatat, “Saya sebagai perwira muda saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam politik. Saya membaca berbagai peristiwa politik itu, dan dengan diam-diam saya menganalisanya” (Soeharto 1989:50). Benar, Suharto berulang kali berhasil berkelit dan melewati berbagai kemelut dan krisis, pada puncaknya dengan sukses ia memanjat pundak mereka yang dikorbankannya pada 1 Oktober 1965.

Pada akhir 1956 ketika rencana pengangkatan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam Diponegoro bocor, terjadi rapat gelap di Kopeng dihadiri sejumlah perwira yang dikoordinir oleh Letkol Suharto melalui anak buahnya Mayor Yoga Sugomo sebagai Asisten I Divisi di Semarang, Suharto sendiri tidak hadir. Dari puluhan perwira yang hadir hanya Kolonel dr Suhardi yang menandatangani setuju pencalonan Letkol Suharto dan menolak pencalonan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam. Suharto yang ingin merebut kedudukan ini berpacu dengan waktu karena pencalonan Bambang Supeno tinggal menunggu tanda tangan Presiden. Akhirnya komplotan tersebut berhasil.

Seandainya tidak, maka rapat gelap itu akan diusut, dan yang paling terbukti adalah Kolonel dr Suhardi, sedang Suharto tidak terbukti tersangkut karena Suharto menjadi ‘Mr Alibi’. Masalah tersebut dicatat juga oleh Ali Murtopo yang ketika itu Kapten dan Komandan Raiders yang diminta Yoga Sugomo untuk melakukan operasi intelijen soal pencalonan Suharto (Yoga Sugomo 1990:20-30). Selanjutnya Yoga Sugomo mencatat bahwa rapat di Kopeng itu dihadiri oleh Sudarmo Djojowiguno, Suryo Sumpeno, Surono, Pranoto, Suwito Haryoko (Asisten II), Suwarno (Asisten IV), dan Munadi (AsistenV). Ia dan Mayor Suryo Sumpeno berangkat ke Jakarta menemui Kolonel Zulkifli Lubis di MBAD untuk menggagalkan pencalonan Bambang Supeno dan menggantinya dengan Suharto. Usaha mereka berhasil (Yoga Sugomo 1990:80-82).

Inilah trio pertama Suharto-Ali Murtopo-Yoga Sugomo. Trio ini pula kelak melakukan usaha-usaha menikam politik konfrontasi Presiden Sukarno dengan penyelundupan ke Malaysia dan Singapura serta kontak-kontak politik gelap dengan pihak Malaysia melibatkan tenaga militer, politisi sipil anti komunis, pengusaha. Kontak-kontak trio ini di lapangan melibatkan Ali Murtopo, Benny Murdani, AR Ramly, selanjutnya di Malaysia dengan Des Alwi, Prof Sumitro (Yoga Sugomo 1990:139; Hanafi 1998:206).

Trio ini pula kemudian menangani peristiwa G30S. Pagi-pagi pada 1 Oktober 1965 sebelum orang lain mengetahui keadaan yang sebenarnya, Kolonel Yoga menyatakan, “…Ini mesti perbuatan PKI…”. Selanjutnya, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak”. Selanjutnya Letkol Ali Murtopo mencatat, “…berdasar penjelasan Pak Yoga kepada Pak Harto, maka kita bertiga kumpul lagi di ruang Pak Harto. Disini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya” (Yoga Sugomo 1990:37,148). Yang dimaksud Ali Murtopo dengan kata ‘lagi’ dalam “Di sini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya”, bahwa komplotan semacam itu telah pernah mereka lakukan sebelumnya ketika merancang operasi intelijen perebutan jabatan Panglima Diponegoro untuk Suharto seperti tersebut di atas.

Ketika Jenderal Suharto sudah menjadi Pejabat Presiden, pada 7 Juli 1967 di Yogya para Panglima AD se Jawa dan Panglima Kostrad serta RPKAD mengeluarkan pernyataan keras agar diambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang hendak mengembalikan kekuasaan pemimpin Orla Dr Ir Sukarno. Dalam ‘Sumpah Yogya’ ini tidak terdapat tandatangan Jenderal Suharto (Roeder 1977:249). Rupanya ini ‘Mr Alibi’ yang lain.

Demikianlah Suharto dengan amat cerdiknya bagaikan dongeng Sang Kancil selalu berada di tempat yang aman, berkelit dari berbagai macam gejolak dan memetik buah untuk keuntungannya sendiri, muncul dengan senyum tipis penuh misteri sebagai pemenang. (Bersambung)



(5) Suharto Penuh Dusta

DALAM analisis psikobiografi dan analisis kualitatif berdasar teori kepribadian dan tingkah laku politik oleh Laboratorium Psikologi UI disebutkan bahwa ungkapan verbal Suharto tampil sebagai upaya untuk memberikan penjelasan sekaligus memberikan dalih (Bagus Takwin cs 2001:44) alias alasan yang dicari-cari untuk membenarkan tindakan itu. Di samping itu terdapat sejumlah indikasi kebohongan dalam penjelasannya. Ketika menjelaskan pembelian kapal perang bekas dari Jerman, Suharto menyatakan tidak setahu Menristek Habibie, karena yang bersangkutan ketika itu tidak dapat dihubungi, ternyata ia pergi ke Jerman (Bagus Takwin cs 2001:45-46). Terdapat penjelasan terhadap serentetan kejadian yang nampak jelas Suharto cenderung berbohong, atau kemudian terbukti jelas-jelas berbohong.

Riwayat Suharto sendiri di sana sini terdapat beberapa hal yang buram, tentang ayahnya, tentang saudara-saudaranya, hingga timbul berbagai spekulasi. Konon ia mempunyai seorang saudara tiri bernama Tek Kiong alias Sutikno, seorang pengusaha yang siap menggantikannya masuk tahanan dalam hubungannya dengan kejahatan ekonomi yang dilakukan Kolonel Suharto sebagai Panglima Diponegoro (D&R, 3 Oktober 1998:18). Suharto membentuk geng ekonomi bersama Lim Siu Liong, Bob Hasan, anak angkat Jenderal Gatot Subroto dan Tek Kiong, sang saudara tiri.

Di masa konfrontasi terhadap Malaysia, Indonesia melakukan embargo terhadap Malaysia dan Singapura. Sementara itu AL dan AU melakukan penetrasi ke kedua tempat tersebut, kebanyakan mengalami kegagalan. Dalam suatu rapat ketika Ali Sadikin sebagai Menteri Perhubungan Laut mempertanyakan adanya penyelundupan ke Malaysia dan Singapura, Suharto menjelaskan bahwa sudah lama ia melakukan penetrasi pasukannya ke Malaysia. Martadinata sebagai Menteri Panglima AL membantah kebenaran keterangan Suharto, dengan kata lain hal itu bohong belaka. Yang terjadi sebenarnya adalah penyelundupan barang dagangan atas perintah Suharto (Omar Dani 2001:49-51). Perbuatan Suharto ini tentu saja merupakan pelanggaran berat, karena berarti memberikan bantuan kepada musuh. Membantu musuh adalah suatu pengkhianatan.

Tentang Jenderal Nasution, Suharto mencatat pada 1 Oktober 1965, “Menjelang senja, kira-kira pukul setengah enam muncullah Jenderal Nasution di Kostrad, atas permintaan saya, agar lebih aman bagi beliau daripada di tempat persembunyiannya yang tidak terjaga” (Soeharto 1989:126). Suharto sama sekali tidak mencatat adanya pesan Nasution dalam kapasitasnya sebagai Menko Hankam/Kasab yang dikirimkan jam 09.00 pagi hari itu, kemudian disusul instruksi tertulis kepadanya dalam menghadapi situasi. Keduanya dikirimkan dari persembunyian Nasution (Nasution 6 1988:229-230).

Dalam hal ini pembaca buku otobiografi Suharto mendapatkan kesan bahwa seolah-olah Jenderal Nasution tidak mempunyai peran apa pun, sekedar sebagai tokoh luluk bawang yang meminta perlindungan di markas Suharto, meskipun setelah menunjukkan isi hatinya tentang musibah yang menimpa sang senior, Suharto menulis, “Tetapi kami orang-orang lapangan mengerti apa yang disebut tugas” (Soeharto 1989:126).

Terbayang pada pembaca, Jenderal senior yang kakinya sedang cedera itu seolah tenggelam dalam kesedihan tanpa daya karena menunggu nasib anaknya yang terluka parah karena tembakan yang ditujukan pada dirinya. Ketika markas Kostrad membentuk Posko-2 di Senayan dan Posko-3 di Cipete, tak sepatah pun Suharto mencatat inisiatif yang dilakukan jenderal senior itu. Juga tidak pembicaraan mereka berdua di ruang makan di sebuah rumah bertingkat tempat pemondokan para olahragawan di Senayan pagi hari 2 Oktober 1965. Nasution membuat rencana secara maksimal mempertahankan Jenderal Suharto pada posisinya, sekaligus Nasution akan melanjutkan tekanannya kepada Jenderal Pranoto (Nasution 6 1988:255-256).

Daftar dusta Suharto cukup panjang. Ia berdusta dan memalsu tentang SU 1 Maret 1949, ia berdusta ketika melakukan penyelundupan di Jawa Tengah disebutnya sebagai menolong rakyat yang kelaparan. Ia berdusta dan menusuk dalam lipatan ketika melakukan penyelundupan ke Malaysia selama konfrontasi. Ia berdusta terhadap pertemuannya dengan Kolonel Latief di RSPAD Gatot Subroto pada 30 September 1965, dusta ini amat kritis sifatnya karena menunjukkan keterlibatan Mayjen Suharto dengan G30S yang tak terbantahkan. Begitu tega ia mengorbankan sejumlah jenderal teman-temannya sendiri.

Dusta ini masih dilengkapi dengan dusta pidatonya pada 4 Oktober 1965 di Lubang Buaya. Sepanjang kekuasaannya selama 32 tahun rezim Orba Suharto antara lain dilandasi dengan dusta konsepsional seperti anggaran berimbang [tentu saja ini melibatkan para teknokrat profesor doktor jawara ekonomi yang secara sadar ikut membodohi rakyat yang untung tidak seluruhnya bodoh], dan setumpuk dusta yang tak habis-habisnya untuk ditulis. Betapa celakanya, ketika ia sudah tumbang, Jenderal Besar Suharto masih berdusta di hadapan 200 juta rakyat dengan mengatakan tidak punya simpanan sesen pun! Apa ora hebat dustanya!

Ketika G30S telah lewat dan Jenderal Suharto menjadi Presiden RI, ia suka menyampaikan kisah kepada para diplomat bahwa sebenarnya nama Mayjen Suharto juga masuk daftar hitam G30S yang hendak dibunuh. Dengan geli ia menceritakan akan kebodohan para pelaku G30S yang kebingungan akan tempat Suharto berada, dan itu menyebabkan ia lolos dari maut (Crouch 1999:148). Rupanya ia menganggap para diplomat itu pun orang-orang yang mudah dibodohinya dengan kisah menggelikan yang tidak lucu itu. Hal ini bertentangan dengan cerita Suharto sendiri kepada Roeder.

“Kemudian ketika ditanya, Jenderal Suharto menyatakan acuh tak acuh bahwa namanya tidak tercantum dalam daftar nama-nama yang akan diculik, ‘Karena mereka menganggap saya sebagai seorang perwira bawahan yang dapat diurus kemudian’” (Roeder 1977:31). Prof Dr Donald Wilson juga menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh soal sepele saja yakni karena perangai Suharto yang pendiam dan low profile, maka pemberontak luput perhatiannya,“…simply overlooked because of his quiet and low profile to be on the assassins’ list,” (Wilson 1989:1).

Paling tidak terdapat tiga puncak yang menjulang dari dusta Suharto yakni soal Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai landasan legitimasi historis, tragedi G30S dengan perannya sebagai penyelamat negara dan bangsa, serta Supersemar sebagai landasan konstitusional yang begitu diagungkan. Tentu saja puncak tertinggi gunung es itu adalah tragedi G30S beserta pembunuhan para jenderal dan pembantaian berdarah yang mengikutinya. Sekedar untuk mendapatkan legitimasi lebih kokoh dari sejarah hidupnya, ia tidak malu-malu berbohong dan melakukan pemalsuan, seolah semuanya bakal langgeng karena semuanya berada dalam cengkeraman kekuasaannya.

Padahal masih cukup banyak saksi hidup yang jujur yang akan memberikan kesaksian apa adanya tanpa terpengaruh cengkeraman kekuasaannya. Terlebih lagi terdapat dokumen yang menunjang seperti kasus klaim Suharto terhadap SU 1 Maret 1949. (Bersambung)



(6) Suharto dan SU 1 Maret 1949

PERTAMA-TAMA perlu kita kutipkan versi Suharto tentang kejadian sejarah yang cukup menarik ini. Pertama versi yang ditulis oleh OG Roeder pada tahun 1976 antara lain berdasar wawancara intensif dengan Suharto. Si penulis mengaku bahwa selama itu ia berada dekat dengan Suharto pribadi (Roeder 1977:xi).

“Beberapa kali Suharto sendiri menjalankan tugas rahasia masuk kota yang diduduki Belanda itu. Dengan berpakaian seperti seorang petani ia membawa buah-buahan ke dapur kraton Sultan... menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Diadakanlah perundingan-perundingan yang lama... Sri Sultan, yang disegani oleh rakyat maupun pemimpin, menjadi jantung dari perlawanan nasional terhadap penjajahan Belanda di Jawa Tengah. Dan Letnan Kolonel Suharto adalah komandan lapangan yang paling dipercaya…. Dalam salah satu perundingan rahasia... telah diambil suatu keputusan yang berani untuk mengadakan serangan umum terhadap Yogyakarta dan menduduki kota “sekalipun hanya untuk beberapa jam”. Tujuannya adalah, menunjukkan kepada dunia bahwa perlawanan Indonesia yang gigih tidaklah patah seperti yang pernah dinyatakan oleh Wakil Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa” (Roeder 1977:205-206).

Serangkaian pertemuan tersebut diadakan sebelum 1 Maret 1949. Jadi menurut versi ini SU 1 Maret 1949 antara lain merupakan pelaksanaan hasil dari pembicaraan beberapa kali pertemuan antara Suharto dan Sri Sultan, “…dalam salah satu perundingan rahasia...telah diambil suatu keputusan yang berani untuk mengadakan serangan umum terhadap Yogyakarta dan menduduki kota itu…”. Selanjutnya Roeder melukiskan serangan itu berdasar kisah Suharto sbb:

“Pada tanggal 1 Maret 1949, tepat pada jam 6.00 pagi, ketika sirene meraung-raung menandakan berakhirnya jam malam, pasukan gerilya memasuki kota. Suharto berada dalam pasukan yang akan memberikan pukulan, dengan senapan Owen yang berat di tangannya. Prajurit-prajurit menggunakan daun kelapa muda [janur kuning, hs] yang digantungkan di bahu sebagai tanda pengenal. Serangan itu berjalan lancar. Pusat kota dapat diduduki....” (Roeder 1977:207).

Perlu ditambahkan bahwa Roeder menulis biografi Suharto atas restu sang jenderal. Kolonel Latief sedikit menyinggung tentang SU 1 Maret 1949 yang dikemukakannya di depan sidang Mahmilti pada tahun 1978 yang tidak pernah ditanggapi oleh Suharto. Selama kekuasaan Suharto pembelaan Latief tersebut dalam kenyataannya merupakan bacaan terlarang. Seperti kita ketahui pada tahun 1949 Kapten Latief adalah Komandan Kompi di bawah Suharto yang ikut melakukan serangan umum pada 1 Maret 1949. Ketika pasukan Latief mengundurkan diri keluar kota, ia melapor kepada Suharto tentang keadaan pasukannya, ketika itu Suharto sedang menikmati makan soto babat…(Latief 1999:95). Tidak disebut apakah Letkol Suharto memegang senjata Owen yang berat itu.

Dalam versi lain yang tercantum dalam otobiografinya yang ditulis pada tahun 1989, 13 tahun setelah “versi Suharto/Roeder”, Suharto mengaku bahwa sejak pendudukan Yogya oleh tentara Belanda pada 19 Desember 1949 ia telah mempunyai gagasan untuk melakukan serangan umum.

“Otak saya seakan-akan berputar, cari akal, bagaimana caranya untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Yogyakarta kepada TNI. Bagaimana meyakinkan mereka, bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan” (Soeharto 1989:58). Pendeknya Suharto mengklaim dirinya sebagai satu-satunya penggagas, pemikir, pengambil inisiatif dan pelaksana SU 1 Maret 1949, lengkap dengan strategi dan seluruh taktiknya. Rupanya Suharto perlu melandasi diri lebih kokoh dalam memberikan legitimasi sebagai seorang pemimpin cemerlang dan sama sekali patut untuk dikokohkan kembali sebagai Presiden RI lebih lanjut.

“Persis pada waktu saya menyetel radio memantau siaran luar negeri bersama-sama dengan Purhadi, perwira PHB yang sekarang sudah tiada, terdengar siaran luar negeri mengenai perdebatan di PBB. Belanda mengatakan bahwa tindakan polisionilnya,... telah berhasil. Yogya telah mereka duduki, pemerintahan Belanda berjalan lancar, TNI sudah tidak ada, ekstrimis sudah di luar kota, katanya. Hati saya melawan mendengar siaran itu… Seketika itu saya berpikir, “Bahan apa yang akan digunakan Palar, Wakil RI di PBB untuk menjawab pernyataan pihak Belanda itu?” Maka muncul keputusan dalam kepala saya: Kita harus melakukan serangan pada siang hari , supaya bisa menunjukkan pada dunia kebohongan si Belanda itu” (Soeharto 1989:60).

Banyak orang yang mengalami masa gerilya di Jawa Tengah pada tahun 1949 dan juga para pelaku meragukan bahwa pasukan Suharto memiliki radio di daerah pedalaman pada masa gerilya yang serba sulit itu. Ajaib bahwa apa yang dikatakan Suharto itu amat mirip dengan apa yang dikatakan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam sambutan pembukaan monumen 1 Maret 1949 di depan Presiden Suharto pada 1973, 16 tahun sebelum klaim Suharto dan tidak dibantah olehnya.

“Maka kira-kira tanggal 10 Februari [tepatnya 14 Februari] kita mengadakan perundingan, kami laporkan kepada Pak Harto mengenai suasana di kota ini dan beranggapan bahwa satu-satunya jalan adalah SO yaitu Serangan Oemoem. Kebetulan saya mendengar dari radio bahwa soal Indonesia akan dibicarakan di dalam United Nations pada kira-kira akhir Februari, maka saya usulkan agar dijadikan satu saja, untuk memberikan semangat kembali kepada penduduk di kota dan untuk menarik perhatian daripada United Nations. Mengenai teknis pelaksanaan saya serahkan kepada Pak Harto segala resiko adalah pada saya…” (Suwarno 2000:135).

Hal yang sama ini kemudian juga terdapat dalam wawancara Sri Sultan yang termuat di Asiaweek pada tahun 1986, jadi 3 tahun sebelum klaim Suharto.

Berbeda dengan versi Roeder/Suharto pertama di atas yang mengakui sejumlah pertemuan dengan Sri Sultan sebelum 1 Maret 1949, maka dalam versi otobiografinya ia mengatakan bahwa pertemuan dengan Sri Sultan terjadi baru pada pertengahan Mei 1949, jadi jauh sesudah SU 1 Maret.

“Saya menyamar masuk kota menemui Sri Sultan itu pada pertengahan bulan Mei, bertolak dari Bibis, jadi sesudah serangan umum 1 Maret 1949” (Soeharto 1989:66).

Pada tahun 1960 Mayjen TB Simatupang, bekas Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) RI menerbitkan memoarnya, Laporan Dari Banaran. Memoar ini ditulis berdasar buku harian dan catatan-catatannya yang telah dibuatnya selama perang gerilya di Jawa Tengah dalam kapasitasnya sebagai seorang Kolonel dengan jabatan Wakil II KSAP, sedang KSAP dijabat oleh Jenderal Sudirman. Ketika itu Kolonel AH Nasution menjabat Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD), markasnya disebut Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Sedang Komando Sumatra di bawah Kolonel Hidayat. Kedua komando berada di bawah Panglima Besar Sudirman (Simatupang 1981:3).

Catatan dan buku harian itu meliputi periode 19 Desember 1948 sampai dengan 27 Desember 1949. Di dalamnya terekam juga serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta sbb:

“Tanggal 1 Maret 1949,.... Di Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa. Mereka sedang menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan “SO” atau serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan “SO” ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatra dan New Delhi, yang kemudian akan menyiarkan berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sesnsasional mengenai serangan umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek yang sangat baik bagi kita” (Simatupang 1981:69).

Selanjutnya catatan Kolonel Simatupang merekam nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai memberikan pegangan yang kuat kepada semua orang, baik militer, pamongpraja, pemuda, pelajar dan orang desa, dengan sikap tegas membantu perjuangan serta menantang tawaran-tawaran Belanda (Simatupang 1981:69,74).

Setelah hengkang dari Yogya, Kolonel Simatupang dalam kapasitasnya sebagai Wakil II KSAP melakukan perjalanan ke banyak basis gerilya di wilayah pedalaman Yogya, Surakarta dan Kedu dengan markasnya di Banaran, kira-kira 50 km barat laut Yogya. Ketika serangan 1 Maret terjadi, Kolonel Simatupang sedang berada di desa Wiladeg, kira-kira 65 km sebelah timur Yogya, bertemu dengan petugas penerangan yang bersiap-siap menyiarkan berita serangan umum.

Selama perjalanannya ke tiga wilayah tersebut ia mencatat banyak nama pejabat sipil dan militer yang ditemuinya maupun yang telah melakukan tugas di tempat lain. Nama-nama itu misalnya kedua petugas penerangan tersebut di atas, kemudian juga Mayor Daeng dari Siliwangi, Letkol Sudarto, bekas mahasiswa teknik Bandung, Daan Yahya dari Siliwangi, Letkol Taswin seorang komandan brigade, Kemal seorang komandan batalion, Princen, Mokoginta komandan PM, Chairul Saleh, Letkol Sadikin, Letkol Kusno Utomo. Ketika bertemu Mayor Wiluyo, yang bersangkutan sedang ditugaskan oleh Kolonel Bambang Sugeng untuk menghubungi Letkol Yani di Kedu, Letkol Suharto di Yogya, dan Letkol Bachrun di Pekalongan, dan masih banyak para pembesar sipil dan militer lain sehubungan dengan tugasnya masing-masing (Simatupang 1981:27).

Simatupang pun membuat berbagai analisis dalam catatannya tentang keadaan politik internasional sehubungan dengan situasi Indonesia, organisasi perang rakyat dsb. (Simatupang 1981:37-39) dan masih banyak analisis yang lain. (Bersambung)



(7) Peran Sejarah Sri Sultan dan Panglima Besar Sudirman Dipreteli

BERDASARKAN catatan harian Kolonel Simatupang jelas bahwa rencana serangan umum 1 Maret 1949 merupakan suatu topik yang menjadi bahasan serius di kalangan pimpinan teras atas AD, antara lain antara Kolonel Simatupang sebagai Wakil KSAP II dengan Kolonel Bambang Sugeng sebagai Panglima Divisi III. Buku peninggalan almarhum Simatupang ini merupakan salah satu bahan sejarah yang tidak bisa dibohongi oleh seorang Jenderal Suharto sekalipun. Entah, barangkali Suharto tidak pernah membaca tulisan seniornya tersebut yang telah dibuat pada 1959 dan terbit pertama kalinya pada 1960, ketika Kolonel Suharto baru saja dipecat sebagai Panglima Diponegoro karena kasus penyelundupan, lalu masuk ke Seskoad di Bandung.

Dalam hubungan dengan serangan umum ini nama Letkol Suharto sama sekali tidak terekam dalam catatan Wakil II KSAP Kolonel Simatupang. Mungkin sekali menurut Simatupang komandan serangan itu bisa dilakukan oleh siapa saja yang ditugaskan, tidaklah terlalu penting. Ketika itu yang berada di wilayah tersebut adalah Letkol Suharto.

Pastilah catatan dan tulisan Simatupang tersebut yang didasarkan pada buku hariannya sama sekali tidak terpengaruh oleh rezim Orba yang kemudian berdiri. Hal ini sedikit berbeda nuansanya dengan tulisan Jenderal Nasution yang baru disusunnya pada masa puncak rezim Orba.

“…Sesuai dengan perkembangan diplomasi, dalam rangka tahap ke-2 perlawanan kita maka Letkol Suharto mengambil keputusan untuk menyerang kota Yogya tanggal 1 Maret, sehingga mata internasional, melalui KTN, dan lain-lain dapat menyaksikan. Terjadilah serangan umum 1 Maret. “enam jam di Yogya” – yang setelah Orde Baru berdiri selalu diperingati secara besar-besaran.

Dan aksi ini adalah dalam rangka taktis ofensif yang sedang dilancarkan oleh Panglima Bambang Sugeng di seluruh wilayahnya, terhadap kota-kota kabupaten dan keresidenan, terutama di daerah Banyumas, Kedu, Semarang, dan Yogya. Pada waktu yang agak bersamaan juga Divisi I memulai aksi yang demikian di Jawa Timur, menyusul Divisi II (Jawa Tengah bagian timur), kemudian Divisi IV (Jawa Barat)” (Nasution 2A 1989:229-230).

Jenderal Nasution pun mencatat bahwa serangan itu bagian dari gerakan Divisi III Jawa Tengah bagian barat yang meliputi Yogya, Semarang, Kedu, dan Banyumas di bawah Panglima Kolonel Bambang Sugeng. Kemudian seluruh divisi di Jawa melakukan hal yang sama. Buku Jenderal Nasution itu memuat lampiran laporan wawancara Sri Sultan dengan BBC pada 23 November 1985. Disebutkan bahwa selama pendudukan Belanda Sri Sultan terus-menerus mendengarkan siaran radio luar negeri termasuk tentang akan diadakannya perdebatan tentang Indonesia di PBB awal Maret 1949.

Maka Sri Sultan melakukan kontak dengan Panglima Besar Sudirman tentang usulan serangan umum pada siang hari. Jenderal Sudirman menyetujui ide tersebut dan meminta Sri Sultan menghubungi komandan pasukan setempat, Letkol Suharto. Pertemuan dengan Letkol Suharto diadakan pada 14 Februari 1949 (Nasution 2A 1989:323).

Selanjutnya dimuat juga wawancara Jenderal Suharto yang berisi klaimnya tentang kejadian sejarah yang sudah kita kenal itu yang juga termuat dalam otobiografi Suharto (Soeharto 1989:56-64). Rupanya Jenderal Nasution dengan sengaja tidak memberikan komentarnya untuk menghindari polemik dengan Jenderal Suharto yang sedang berada di puncak kekuasaannya.

Pendeknya catatan-catatan sejarah serta kesaksian para pelaku membuktikan dengan telak bahwa Jenderal Suharto telah berdusta dengan sadar tentang klaimnya terhadap SU 1 Maret 1949 di Yogya, bahkan dengan tidak tahu malu menentang keterangannya sendiri kepada penulis biografinya OG Roeder yang memuji-mujinya begitu tinggi. Kenekatan Suharto masih berlanjut dalam hal SU. Ia sama sekali tidak menyinggung nama Panglima Besar Sudirman, seolah panglima ini sudah berada di tempat jauh, tidak berdaya karena sakit-sakitan dan tidak memiliki kemampuan untuk menghubungi anak buahnya di sekitar Yogya.

Nama petinggi militer lain pun tidak pernah disebutnya, Suharto mencatatnya sebagai berikut, “Waktu itu tidak ada komunikasi antar pimpinan TNI. Pak Dirman sudah berada di dekat Jawa Timur. Mungkin sudah di Pacitan. Mungkin sudah di desa Sobo. Komando Panglima Divisi ada di Ngangkrik, Magelang. Kita memerlukan waktu berhari-hari untuk dapat sampai ke sana” (Soeharto 1989:60).

Pendeknya hanya Suharto yang berpikir keras dan melakukan daya upaya dalam hubungan dengan ibukota Republik, yang lain sedang bersembunyi jauh di sana di gunung dan hutan mencari selamat. Padahal Jenderal Sudirman terus-menerus berhubungan dengan sejumlah anak buahnya, pernah melakukan kontak surat menyurat dengan Sri Sultan sebelum SU melalui kurirnya seperti yang diungkapkan Cokropranolo dalam bukunya Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman. Cokropranolo sebagai utusan Jenderal Sudirman yang membawa surat untuk Sri Sultan berangkat dari Pacitan 8 Februari 1949. Karena Yogya sedang panas maka ia menuju markas Letkol Suharto dan menemuinya.

“Dalam pertemuan itu disampaikan maksud dan tujuan kedatangan saya ke Yogya. Selanjutnya karena situasi kondisi kota yang diketahui Pak Harto dengan baik, saya mohon pertolongan untuk menyampaikan surat Pak Dirman kepada Sri Sultan secara aman dan rahasia. Dengan senang hati beliau menerima surat Pak Dirman untuk disampaikan kepada Sri Sultan. Jawaban atas surat Pak Dirman itu akan disampaikan oleh seorang perwira utusan Pak Harto” (Tjokropranolo 1992:167).

Di sini jelas Suharto benar-benar tidak tahu malu, begitu nekat dan tega telah mempreteli peran sejarah Sri Sultan untuk dikenakan pada dirinya sendiri bagai merebut pakaian bekas Sri Sultan untuk dikenakan pada dirinya, bak Petruk menjadi raja. Bahkan sekaligus mengabaikan peran tokoh-tokoh terhormat seperti Panglima Besar Sudirman, Kolonel Simatupang, dan Kolonel Bambang Sugeng dsb sekedar sebagai tokoh kelas pinggiran.

Kalau dalam versi pertamanya Suharto masih mengakui serangkaian pertemuan dengan Sri Sultan sebelum SU, maka dalam versi keduanya ia telah “lupa” dengan pengakuannya itu. Ia mengatakan, “Saya menyamar masuk kota menemui Sri Sultan itu pada pertengahan bulan Mei, bertolak dari Bibis, jadi sesudah serangan umum 1 Maret 1949” (Soeharto 1989:66). Jadi kali ini Suharto versus Suharto. Dalam hal ini Suharto dengan mudahnya menelan ludahnya sendiri, padahal ludah itu sudah tersebar luas dalam bentuk buku OG Roeder yang direstuinya.

Setelah mengumpulkan banyak data yang selama ini tidak diungkapkan dilengkapi setumpuk kesaksian mereka yang masih hidup dan menjadi pelaku langsung sejarah ketika itu, maka tim penulis buku Pelurusan Sejarah SO 1 Maret 1949 menyimpulkan bahwa hal itu merupakan hasil perenungan seorang konseptor yang berwawasan kenegarawanan, memiliki wewenang besar untuk memobilisasi dan memfasilitasi berbagai aspek dan komponen serta memberikan komando aksi dengan menyiapkan suatu skenario yang tepat dengan berbagai improvisasi.

Hal demikian ketika itu hanya mungkin dilakukan oleh sosok seperti Sri Sultan HB IX atau Jenderal Sudirman, dan bukan pada level operasional bawah (Tataq Chidmad cs 2001:4), seperti misalnya Letkol Suharto, yang ketika itu “hanya” salah seorang Komandan Resimen, yang dalam keadaan bergerilya di pedalaman tentunya hanya mempunyai fasilitas yang amat terbatas. Menurut hemat saya salah satu nama yang perlu ditambahkan dari pimpinan tingkat atas itu ialah Wakil II KSAP Kolonel Simatupang dan Kolonel Bambang Sugeng, paling tidak ikut mendiskusikannya seperti terekam di dalam bukti sejarah di atas.

Semasa berkuasa Jenderal Suharto mendengar juga desas desus pembicaraan yang tidak sependapat dengan klaim Suharto sebagai konseptor yang brilian sekaligus eksekutor yang sukses SU 1 Maret 1949, antara lain di kalangan pelaku sejarah yang masih hidup termasuk yang pernah membantunya. Dengan enteng Suharto bereaksi, “Tapi harus diingat saya yang memimpin dan melaksanakan rangkaian serangan-serangan tersebut. Kalau ada orang yang mengatakan itu bukan ide saya boleh-boleh saja, tapi kalau ide itu tidak dilaksanakan, tentu hanya ide, sudah dilaksanakan baru orang mencari siapa yang punya ide, ini kan aneh…”

Dalam hal ini Suharto merasa menjadi orang yang tak tergantikan untuk melaksanakan serangan umum terhadap kedudukan Belanda di Yogya. Bagi penyelidikan sejarah mencari konseptor yang sebenarnya dari suatu inisiatif bersejarah adalah hal biasa saja, sama sekali tidak aneh. Tapi rupanya bagi Suharto hal itu tidak perlu dipertanyakan, karena toh yang memberikan kesaksian adalah seorang Jenderal Suharto, Presiden RI, Mandataris MPR, tak mungkin salah karena ia pemegang amanat kebenaran.

Dalam kasus Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogya yang diduduki tentara Belanda tersebut, pendeknya catatan-catatan sejarah serta kesaksian para pelaku membuktikan dengan telak bahwa Jenderal Suharto telah berdusta dengan sadar tentang klaim peran dirinya, bertentangan dengan keterangannya sendiri kepada penulis biografinya OG Roeder. Untuk itu ia pun tega mengorbankan bekas anak buahnya salah seorang saksi hidup, Marsudi, seorang perwira intelnya di masa itu yang mengantarnya masuk ke keraton Yogya. Ia dipenjara selama lima tahun selama Orba karena tidak mau didekte Suharto.

Kecenderungan Suharto untuk berbohong terdapat dalam serangkaian kejadian seputar tragedi G30S, mulai fitnah keji terhadap Gerwani sampai pembantaian jutaan rakyat. (Bersambung)



(8) Memuji Suharto, Menendang Sukarno

SETELAH Supersemar berada dalam genggaman erat Jenderal Suharto serta berbagai tindakan keras telah diambil, seorang yang menamakan dirinya sebagai wartawan freelance OG Roeder menulis bahwa ketika orang-orang lain merasa beruntung telah mendapat kesempatan yang baik dalam pendidikan, latihan karier dan pengalaman dalam masalah kenegaraan, tidak demikian dengan Suharto. Akan tetapi ia telah bertindak, dan bertindak dengan bijaksana, sedang yang lain telah mengikuti khayalan yang tidak berdasar pada kenyataan, atau tetap tinggal apatis (Roeder 1977:244). Tidak jelas apakah Jenderal Nasution ia masukkan juga dalam golongan pengkhayal, atau barangkali Jenderal Yani yang telah menjadi korban.

Ketika Jenderal Suharto menguraikan tuduhannya akan keterlibatan Sukarno dengan G30S di MPRS Maret 1967, hal itu disebut Roeder sebagai pendekatan berhati-hati dan bertanggungjawab dalam mengakhiri yang “lama” dan dalam menguatkan yang “baru”. Hal ini sama sekali berbeda dari perebutan kekuasaan yang “klasik” dari seorang diktator yang hanya mementingkan kenaikannya sendiri sebagai pemimpin besar (Roeder:246).

Memang Jenderal Suharto amat “bijaksana” dalam melakukan kudeta merangkak terhadap Presiden Sukarno, semuanya konstitusional. Juga berlandaskan konstitusi ketika ia dan rezim militernya memburu, menangkap, memenjarakan bertahun-tahun tanpa proses, membuang dan mengasingkan, menjarah harta benda, memperkosa, membantai jutaan orang sipil tanpa senjata. Memang ada sejumlah pengadilan, pengadilan penuh sandiwara dengan pelanggaran hak-hak dasar terdakwa.

Bagi Roeder belum afdol kiranya jika hanya memberikan puja puji ke atas, perlu juga dilengkapi dengan tendangan kaki ke bawah berupa serapah untuk Bung Karno yang disebutnya sebagai, “Degil dan keras kepala seperti anak kecil…” (Roeder:248).

Beberapa Intelektual dan Suharto

Jenderal Suharto dengan entengnya telah memalsu dan melecehkan sejarah bangsa sekedar untuk meningkatkan legitimasi pribadi dan rezimnya. Tidak seorang ahli sejarah pun yang memprotesnya secara terbuka, kalau ada yang nekat tentu akan segera digebuknya. Sebagian kecil intelektual melacurkan diri pada kekuasaan Orba dengan menjual keahlian dan otoritas dirinya sebagai ilmuwan ataupun intelektual. Contoh yang amat mencolok didemonstrasikan oleh sejarawan Prof Dr Nugroho Notosusanto dalam sejumlah buku yang ditulisnya maupun buku yang ada dalam arahan dia. Dengan demikian sejarawan ini telah menjadi corong kekuasaan Orba dalam mengarahkan penulisan sejarah.

Ketika orang sudah bosan dengan calon tunggal, tak dinyana pada Maret 1997 seorang Prof Dr Juwono Sudarsono muncul melakukan pembelaan dengan analisisnya bahwa hanya militer yang siap, orang sipil tidak. Artinya cuma Suharto yang siap menjadi Presiden RI untuk ke sekian kalinya! Dan orang yang paling siap ini beberapa waktu kemudian tumbang di depan barisan mahasiswa dan rakyat yang telah muak dengan Suharto dan Orbanya pada Mei 1998. Pak Profesor pun mengagumi loncatan PDB yang sebesar US$85 pada 1967 menjadi US$1300 pada 1997.

Itu semua menurutnya dapat dikembalikan pada jasa ABRI yang bersejarah yakni menyelesaikan dasar negara secara tuntas. Adakah ia tertipu, silau atau menipu diri sendiri? Di mana dan pada siapa konsentrasi dana itu berada, dari mana saja sumber-sumbernya dan untuk apa? Berapa utang yang telah ditumpuk dan dikorup? Tak aneh jika Juwono menyatakan dengan segala otoritas ilmunya bahwa cukup banyak hal bagus yang diperbuat rezim Suharto.

Seorang pakar manajemen yang biasa dijuluki Manajer Satu Miliar, Tanri Abeng MBA membuat ulasan buku Manajemen Presiden Suharto. Disebutkan bahwa Suharto memiliki kompetensi tinggi sebagai pemimpin. Ia memiliki berbagai kualitas pribadi yang unggul, orientasi pada rakyat termasuk petani, berakar kuat pada budaya bangsa, visioner, dsb. dsb.

Pendeknya Suharto memiliki sejumlah kualitas manajerial yang luar biasa unggulnya yang sangat bermanfaat bagi perjalanan sejarah bangsa ini (Tanri Abeng 1997:231-251). Selanjutnya Tanri Abeng menyebutkan Suharto memiliki kualitas pribadi kekeluargaan dan kebapakan, terbuka, nguwongke orang lain, berakar kuat pada budaya bangsa, tegas, mengedepankan cara-cara demokratis, percaya penuh pada staf, bersahaja, sangat sabar tetapi sangat kreatif alias “banyak akal”.

Tanri Abeng tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan “banyak akal” dalam tanda petik itu, kita hanya bisa menduga-duga dengan imajinasi kita sendiri berdasar sepak terjang Suharto selama ini. Tanri Abeng menuliskan ulasannya pada akhir 1996. Baru satu setengah tahun lewat dan Suharto yang disebutnya sebagai “mempunyai pandangan dan wawasan jauh ke depan” itu tumbang. Barangkali yang dimaksudkan Tanri Abeng dengan mempercayai staf itu berupa tingkah Suharto yang mengangkangi Mobnas, pembelian kapal perang bekas dari Jerman, lahan gambut sejuta hektar yang berakhir dengan kehancuran ekologi sejuta hektar. Semua kualitas yang diulas dengan takzim dan rapi oleh pakar manajemen ini berbalik seratus delapan puluh derajad dengan kenyataannya.

Rupanya pengamatan dan kesimpulan Tanri Abeng tentang wawasan Jenderal Suharto yang jauh ke depan itu didasarkan fakta semu dan data sulapan yang sudah umum berlaku di bawah rezim Orba, menjadi acuan yang menipu diri sendiri maupun menipu orang banyak. Di kemudian hari Daniel Dhakidae menyebut berbagai ulasan itu sebagai puja puji begitu tinggi yang tidak mampu lagi membedakan keputusan bebas dalam manajemen dengan keputusan dengan kekuatan negara beserta aparat yang siap memaksakannya (Kompas 8 Juni 2002:25).

Prof Dr Robert Elson dari Griffith University, Brisbane, setelah kejatuhan Suharto menyatakan Jendral Suharto merupakan sosok pemimpin tanpa visi, dan ini merupakan kelemahan dasarnya. Bertahun-tahun lamanya ia nampak hidup sederhana, karena ia memang hanya tertarik memanipulasi dan mengatur uang demi kekuasaan. Ia memberikan pengaruh buruk pada lembaga politik. Pada saat menginginkannya, dengan kekuatan uang ia bisa menjadi Indonesia (Tempo 17 Maret 2002:62,69). Betapa hebatnya Suharto, sosoknya menjadi Indonesia itu sendiri ketika ia menginginkannya! Maka tak aneh jika ia membangga-banggakan kepribadian Indonesia dalam pikiran, ucapan dan tindakan dirinya sendiri.

Suharto dan Kehancuran Ekologi Sejuta Hektar

Begitu banyak kerusakan telah dibuat oleh rezim Suharto di segala bidang, salah satu yang amat mencolok adalah proyek berikut ini. Masih segar dalam ingatan kita, Jenderal Suharto yang mengaku anak petani itu menggagas sebuah proyek pertanian hebat untuk menunjukkan bahwa dirinya memang pantas mengaku sebagai anak petani dengan penuh perhatian terhadap pertanian. Proyek spektakuler itu disebut proyek ‘Pengembangan Lahan Gambut’ (PLG) sejuta hektar yang suatu kali keluar dari benak Bapak Pembangunan. Sekian ratus miliar rupiah uang rakyat telah dihamburkan. Hasilnya nol besar alias perusakan ladang gambut sejuta hektar, telah menyengsarakan rakyat setempat di Kalimantan yang kehilangan mata pencahariannya dari ladang gambut. Proyek PLG yang terletak di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah itu gagal total karena semuanya dilakukan bertentangan dengan kaidah ilmu.

Coba bayangkan proyek itu telah mengeluarkan biaya sebesar Rp1.200.000.000.000 (Rp1,2 trilyun) ketika Suharto tumbang. Pertanian yang dilakukan tidak menjanjikan karena keasaman tanah yang tinggi. Sebelum panen hama tikus dan hama lain lebih dahulu merusaknya. Proyek itu pun mempunyai dampak terhadap ekosistim, merusak habitat flora dan fauna. Debit air sungai-sungai besar, Sungai Barito (900 km), Sungai Kapuas (600 km), dan Sungai Kahayan (600 km) pun merosot secara drastis. Sebanyak 64.000 transmigran dari Jawa dan lokal yang telah diboyong ke tempat tersebut hanya memanen penderitaan belaka (Alfridel Jinu, Kompas 20 Februari 2002:26). Dampak ekologi tersebut masih akan berlanjut di hari depan yang panjang yang diwarisi anak cucu kita semua.

Masih banyak lagi proyek di seluruh Indonesia, besar maupun kecil, oleh pemerintah pusat maupun daerah, BUMN dan yang lain yang tidak pernah mempunyai kegunaan apa pun, terbuang sia-sia karena berpedoman asal bapak senang, asal bapak dapat komisi dan perencana serta kepala proyek dapat korupsi. Selama 32 tahun telah dibabat tandas lebih dari 45 juta hektar hutan di seluruh negeri hijau ini, sebagian besar telah hancur sebelum flora dan faunanya diinventarisasi untuk dilestarikan. Apa yang disebut dana reboisasi hanyalah ladang korupsi yang dilindungi berbagai macam aturan.

Hai para ahli dan pakar penasihat di sekeliling Suharto! Adakah kalian masih nyenyak tidur dengan menyembunyikan kesalahanmu sementara kamu mengantongi uang rakyat dari nasehatmu yang edan itu? Apakah kamu masih akan terus berkelit dan bersembunyi di ketiak Suharto? Akuilah kesalahanmu secara terbuka di hadapan rakyat Indonesia sebelum maut menjemputmu! (Bersambung)



(9) Harta Suharto dan Korupsi

SEPANJANG kekuasaannya selama 32 tahun Suharto dengan rezim Orbanya telah melaksanakan strategi yang berkesinambungan berupa bagi-bagi rezeki serta bagi-bagi jabatan dan kekuasaan bersama tiga pilar kekuasaannya yakni ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG). Pelaksanaannya berupa pembiaran merajalelanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan pada setiap tingkat dengan sistim upeti pada atasan, bagian dari pelestarian kekuasaan. Keadaan itu masih dilanjutkan oleh pemerintah Habibie, bahkan rohnya masih berlanjut sampai dewasa ini karena mesin kekuasaan rezim Orba nyaris utuh.

Rezim lama yang masih dalam kekuasaan maupun di luarnya dalam lingkup strategi di atas telah menjarah kekayaan negeri ini secara sistemik selama lebih 30 tahun, menumpuknya di dalam maupun di luar negeri dengan lindungan hukum nasional maupun internasional. Kekayaan amat besar yang telah dihimpun dan dikendalikannya itu dengan mudah dapat mempengaruhi secara pasif (maksudnya dengan melalui sistim keuangan, perbankan dan ekonomi “wajar” yang ada alias kapitalisme plus kejahatan masa lampaunya) dan dapat dipergunakan untuk mempengaruhi secara aktif keadaan politik, ekonomi, keamanan, sosial budaya Indonesia hari ini maupun esok dengan segala macam rekayasanya.

Sejak lama kita mendengar adanya tarikan US$2 untuk tiap barel minyak yang harus disetor kepada Yayasan milik Suharto. Informasi ini antara lain berasal dari narasumber yang dekat dengan beberapa menteri Suharto bidang energi yang pernah ikut serta dalam perundingan perminyakan. Seperti kita ketahui menurut persetujuan OPEC Indonesia mendapat quota untuk memproduksi minyak 1,4 juta barel/hari. Kita anggap saja yayasan Suharto menarik bagiannya selama 20 tahun dari sejuta barel, maka akan didapat US$2 x 1 juta x 20 x 365 = US$14.600 juta, lebih dari US$14 milyar. Ini belum termasuk bunganya selama 20 tahun itu. Berapa miliar lagi yang dikumpulkannya dari Bulog, Telekom, bank-bank milik negara, segala macam BUMN, Freeport dan tambang lainnya, hutan Kalimantan, dan perusahaan-perusahaan lainnya.

Tak lama setelah kejatuhannya, dengan senyum simpul Suharto menjelaskan kepada para pemirsa televisi bahwa tidak benar ia mempunyai simpanan besar di luar negeri. Dengan mantap ia mengatakan bahwa ia tidak mempunyai simpanan sesen pun di luar negeri. Seorang konglomerat berkomentar bahwa tentu saja Suharto tidak bodoh, ia dapat menyimpan atas nama orang lain, anak-anak, cucu atau yang lain. Menurut Solihin GP, yang pernah dekat dengan Suharto selama 16 tahun di Bina Graha ketika menjabat Sesdalobang (Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan) menyatakan bahwa apa saja yang bisa memasukkan uang untuk bantuan presiden (banpres) semuanya digali.

“Dia memang senang mengumpulkan uang”. Selanjutnya dikatakan bahwa ketika uang minyak mengalir deras maka ia mengukur segala sesuatu dengan uang, sesuatu yang merupakan sifat asli Suharto.

Pada permulaan tahun 1980-an warkat kliring dalam perbankan yang terdiri dari cek dan giro paling besar biasanya terdiri dari ratusan juta rupiah di luar pinjaman antar bank. Di masa itu secara teratur Suharto menerbitkan cek sebesar Rp1 (satu) miliar kepada Bob Hasan untuk dibelikan dollar, ketika itu dengan kurs US$1=Rp625, jadi Rp1 miliar =US$1,6 juta. Uang ini kemudian ditransfer ke Singapura, selanjutnya ditransfer lagi ke tempat-tempat lain seperti Hongkong, Swis dsb.

Demikianlah secara teratur Suharto membeli dollar untuk disimpan di luar negeri. Kenapa mesti berkali-kali ditransfer, sedang tidak ada transaksi nyata seperti membayar impor barang misalnya. Tentu ada udang di balik batu, agar sulit dilacak di belakang hari. Demikian narasumber lain seorang pegawai yang pernah punya posisi di sebuah bank asing menyampaikan pengalamannya. Kalau hal itu dilakukannya sebulan sekali dengan jumlah yang sama selama 20 tahun maka akan terhimpun kekayaan: US$1,6 juta x 12 x 20 = US$384 juta. Kalau hal itu dilakukan di 10 bank = US$3,84 miliar yang bunga berbunga.

Tidaklah berlebihan apabila majalah Forbes menyebut kekayaan Suharto dan keluarganya mencapai US$40 miliar. Menurut Jeffrey Winters berdasar sumber-sumber intelijen di kedubes AS di Jakarta kekayaan Suharto dan keluarganya sebesar US$30 miliar (Winters 1999:5). Kemudian majalah Time pada penerbitannya 24 Mei 1999 menyebut tentang adanya gerakan kekayaan amat besar yang terkait dengan Indonesia dari bank di Swis ke Austria karena negeri ini dianggap lebih aman, selanjutnya disebut adanya tranfer sebesar US$9 miliar milik Suharto ke rekening tertentu (nominee bank account) (Lubis cs 2001:3). Cobalah simak angka-angka yang tersebut di atas dan cocokkan.

Di Singapura terdapat jenis simpanan uang dalam valuta asing yang terkenal dengan nama Asian Currency Unit (ACU). Simpanan ini dilindungi peraturan khusus yang kerahasiaannya amat ketat serta bebas pajak. Nara sumber kita di atas pernah bertugas di bank asing di Singapura, beberapa bulan berada di departemen tersebut. Arus uang masuk berasal dari seluruh penjuru dunia, terutama negeri-negeri Asia seperti Indonesia, Bangladesh, Filipina, Muangthai, India, Pakistan. Dapat ditambahkan bahwa pada tahun buku 2001 jumlah simpanan warga Indonesia di ACU sebesar US$150 miliar, setara dengan jumlah utang luar negeri kita.

Dari Indonesia tentunya kebanyakan transfer dari Jakarta. Ketika boom kayu Kalimantan di pasar dunia, arus dollar yang asal usulnya dari pulau itu membanjir antara lain ke rekening ACU. Dari pengamatan menyeluruh selama beberapa bulan dapat ditengarai bahwa banyak di antara pemilik uang itu terdiri dari gubernur, jaksa, hakim, panglima tentara, menteri, dirjen dst. Sekali lagi terbukti strategi Suharto untuk bagi-bagi kekuasaan dan rezeki berjalan baik. Sebagai ilustrasi narasumber masih ingat betul nama seorang nyonya dengan simpanan besar yang suaminya jatuh dalam kudeta di Bangladesh. Memang korupsi bukan monopoli Indonesia, cuma negeri ini mungkin paling jempolan dalam hal korupsi tanpa koruptor.

Para gembong koruptor [dan narkotika, hs] dapat menyimpan uangnya di luar negeri dengan cara memberikan surat “kuasa pengacara” kepada pengacara yang bekerja untuk dirinya. Pengacara ini selanjutnya membuat perjanjian serupa dengan pengacara kedua, selanjutnya ketiga dan keempat dst. atas nama firma mereka. Ujung dari rangkaian ini adalah rekening di Swis atau Austria. Pengacara di sana tidak akan tahu bahwa ia sedang “menadahi” uang Suharto misalnya. Cara ini akan aman karena tiap pengacara hanya mendapat informasi terbatas dari orang sebelumnya.

Tekanan internasional agar bank melakukan investigasi elementer untuk jumlah uang yang besar semacam itu hampir tidak dipatuhi oleh semua bank (Winters 1999:113). Bagi pengelolaan kekayaan berupa saham dan properti, dalam sistim perbankan sebagai bagian dari sistim kapitalisme mengenal apa yang disebut nominee dan trustee, suatu rekening atas nama dan di bawah wewenang suatu badan hukum yang mengelola kekayaan pihak lain lewat jaringan perbankan.

Para gembong koruptor dan gembong narkotika banyak menggunakan jasa badan semacam di atas yang keberadaannya merupakan bagian dari sistim kapitalisme dunia. Ini yang disebut money laundering (pencucian uang). Paling tidak untuk sementara mereka selamat. Yang disebut sementara itu bisa puluhan tahun bahkan sampai mati dan dipindahkan kepada pewaris.

Tentunya para pembantu dan orang gajian Suharto cukup mempunyai ilmu dan piranti untuk dapat menyembunyikan kekayaannya di luar negeri (juga di dalam negeri) dengan peluang yang diberikan sistim hukum dan perbankan yang ada. Melalui badan semacam itu terdapat setumpuk peluang untuk melakukan berbagai macam investasi di seluruh dunia. Memang tidak satu sen pun, karena buntut berupa sen yang mungkin mengganggu pembukuan ini tiap detik dapat didermakan pada rakyat yang kelaparan.

Sejarawan Dr Asvi Warman Adam menyimpulkan bahwa “Sejarah Suharto hari ini adalah sejarah KKN dan pelanggaran HAM. KKN tidak dilakukannya sendirian, tetapi ‘jasa’ Suharto adalah menciptakan kondisi agar KKN itu terterima dalam masyarakat sebagai sesuatu yang wajar. Bila orang memiliki rumah megah atau mobil mewah dari hasil korupsi, masyarakat diam saja. Tetapi bila ada maling ayam atau pencuri sandal bolong, dia bisa dibakar massa. Ironi sosial ini yang diciptakan rezim Suharto”.

Ini salah satu kejahatan Suharto yang tak terampuni. Jenderal Suharto telah mewariskan sebuah negeri yang porak poranda, miskin dan sarat dengan permasalahan mendasar yang berat dan nyaris bangkrut. Itulah berkat pemerintahannya selama 32 tahun yang sentralistik, penuh rekayasa penipuan dan kesombongan, represif, penuh korupsi dan segala macam penyalahgunaan wewenang. Rezim Orba telah menanam bom-bom waktu berupa ketidakpuasan daerah, masalah etnik yang rumit, pelanggaran aturan pertanahan, penggunaan angkatan bersenjata untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia di seluruh negeri dengan alasan demi stabilitas dan pembangunan.

Itulah rupanya yang disebut Prof Juwono Sudarsono dengan penyelesaian tuntas. Kaum intelektual pun memiliki kepentingan-kepentingan kelompok yang diwakilinya, apakah pemerintah diktator atau pemerintah demokratis, segala macam rekayasa yang menipu atau kebenaran dan keadilan.

Setelah Jenderal Besar Suharto ditumbangkan, kuku-kukunya sebagai bagian dari rezim Orba masih mencengkeram berbagai aspek kehidupan bangsa dan negeri ini. Bersamanya terdapat suatu lapisan militer dan sipil yang telah mencengkeram akumulasi kekayaan amat besar negeri ini yang kemudian menjadi sah secara hukum yang akan tetap memberikan pengaruhnya dalam jangka panjang ke depan dalam bidang politik maupun ekonomi terutama melalui apa yang disebut money politics alias politik suap yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya korupsi rezim Orde Baru.

Mungkin saja hal itu dihentikan dengan drastis jika terjadi perubahan fundamental yang didukung seluruh rakyat. (Selesai)

Sumber: http://www.rakyatmerdeka.co.id/index.php?pilih=lihatsoe&id=69

G30S, Terlibatkah Soeharto?

G30S, Terlibatkah Soeharto?

SETIAP kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan selalu menerawang
jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun
1965 yang sampai kini masih tetap menyimpan misteri.
Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan
menguasai dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang
terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S terjadi.
Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) yang tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965
dini hari itu. Data yang telah dipublikasikan selama ini menyebutkan, pada
tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah diberi informasi oleh
Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam
V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal
pimpinan teras Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal
Ahmad Yani, untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari
Latief kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia
terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan
dari gerakan yang dilakukan orang lain.
Dalam pledoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada
tanggal 30 September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua
hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965-Red), ia
juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus
Salim. Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan Jenderal
akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Menanggapi
pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari
seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang
datang sehari sebelumnya (28 September 1965-Red).
Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno
(Kabinet Dwikora), dalam Memoir Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno,
yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, menyebutkan, ia bertemu dengan Subagiyo
di dalam tahanan, dan Subagiyo mengatakan, ia telah memberi tahu Soeharto
mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30 September 1965 itu.
Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya
akan menjemput paksa para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk
dihadapkan kepada Presiden Soekarno.
Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto
menjelang peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal
Idris, yang sebagai Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin
pasukan tanpa identitas yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional.
Ditemui wartawan ketika melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH
Nasution, 6 September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak
Nas makin sulit pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S
yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. "Apa yang kita
kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangi oleh Kolonel Abdul Latief
dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu pada tanggal
30 September 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak
mengambil tindakan apa pun untuk pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu,
seolah-olah biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa," ujar Kemal Idris.
Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada
tanggal 21 Mei 1998, muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan
Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor
Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan tabloit berita Detak, yang dimuat
dalam edisi 29 September-5 Oktober 1998, Soekarbi mengatakan, dalam
Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21 September
1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto, isinya perintah agar
Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI
tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan "perlengkapan tempur garis
pertama".
Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530
disiapkan dengan "perlengkapan tempur garis pertama"? Apalagi kemudian yang
terjadi adalah sebagian dari anggota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam
peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah serupa diberikan pula kepada
Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian anggota pasukannya juga terlibat
dalam peristiwa G30S.
Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu
mengenai akan adanya peristiwa G30S, paling tidak sejak tanggal 21 September
1965, atau sembilan hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan
Batalyon 530 itu "perlengkapan tempur garis pertama", Soeharto telah
memfasilitasi anggota pasukan tersebut untuk melakukan "gerakannya".
Belum lagi hampir semua pelaku inti G30S memiliki hubungan yang dekat dengan
Soeharto, mulai Brigadir Jenderal Soepardjo, Kolonel Untung, Kolonel Abdul
Latief, sampai Sjam Karuzzaman.
Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu
perkembangan, dan pada saat yang tepat, dengan cepat mengambil
langkah-langkah yang diperlukan, di saat orang-orang lain, termasuk panglima
dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-tanya apa yang
sesungguhnya terjadi.
Karena mengetahui siapa saja yang telah dijemput paksa dan siapa saja yang
melakukannya, maka saat itu pada prinsipnya Soeharto dapat melakukan apa
saja yang dikehendakinya, termasuk dengan mudah membasmi pelaku-pelaku G30S
dan mencari kambing hitam untuk dituduh sebagai penanggung jawab atas
peristiwa G30S.
Sebagai orang yang memiliki seluruh informasi, Soeharto secara leluasa
memberlakukan keadaan darurat. Kemudian menelepon Menteri/Panglima Angkatan
Laut Laksamana Madya RE Martadinata, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian
Komisaris Jenderal Soetjipto Joedodihardjo, dan Deputi Operasi Angkatan
Udara Komodor Leo Wattimena. Dan, kepada mereka, Soeharto memberi tahu untuk
sementara Angkatan Darat dipegang olehnya, serta meminta agar mereka tidak
mengadakan pergerakan pasukan tanpa sepengetahuannya (dalam hal itu,
Panglima Kostrad).
Sebagai kambing hitam, ia menuduh Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana
Madya Omar Dani berada di pihak yang salah, dan Pangkalan Angkatan Udara
Halim Perdanakusuma disebutkan sebagai markas pelaksana G30S. Dengan
demikian, kehadiran Presiden Soekarno di Pangkalan Angkatan Udara Halim
dicitrakan sebagai keberpihakan Soekarno pada G30S.
Itu belum semua. Dengan penguasaannya atas seluruh media massa nasional,
Soeharto berhasil menjadikan versinya atas peristiwa G30S sebagai
satu-satunya kebenaran. Dan, bagi orang-orang yang dianggap "berseberangan"
diberi label terlibat G30S, dan dijadikan tahanan politik.
Sejumlah purnawirawan AURI di bawah pimpinan Sri Mulyono Herlambang, lewat
buku Menyibak Kabut Halim 1965 membantah bahwa Lubang Buaya yang digunakan
sebagai Markas Kelompok G30S berada di wilayah AURI. Tempat tersebut justru
berada di wilayah Angkatan Darat.
PADA tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Mayor Jenderal Soeharto
memerintahkan seorang perwira Kostrad, Kapten Mudjono, untuk memanggil
Komandan Batalyon 530 Mayor Bambang Soepeno yang menempatkan pasukannya di
sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan. Karena Mayor Bambang
Soepeno tidak ada ditempat, maka Wakil Komandan Batalyon 530 Kapten
Soekarbi, yang memimpin pasukan di lapangan, bertanya apakah ia bisa
mewakili. Perwira itu menjawab tidak bisa. Namun, pukul 07.30, perwira
Kostrad itu kembali lagi, dan mengatakan, Kapten Soekarbi diperbolehkan
menggantikan Mayor Bambang Soepeno. Tidak lama kemudian datang menghadap
pula Wakil Komandan Batalyon 454 Kapten Koencoro.
Pasukan yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan
adalah anggota dua batalyon yang diundang Panglima Kostrad Mayor Jenderal
Soeharto ke Jakarta untuk mengikuti peringatan HUT ke-20 ABRI pada tanggal 5
Oktober 1965. Sebab itu, Soeharto dengan mudah memanggil pemimpin kedua
batalyon itu, dan memerintahkan agar menarik kembali pasukan mereka ke
Markas Kostrad.
Soekarbi membantah pernyataan yang menyebutkan bahwa Kostrad tidak tahu
kehadiran pasukannya di sekitar Istana dan Monumen Nasional, mengingat anak
buahnya bolak-balik ke Markas Kostrad untuk menggunakan kamar kecil
(toilet).
Berbeda dengan Soeharto, yang pada pukul 06.30 , sudah mengetahui identitas
pasukan yang berada di sekitar Monumen Nasional dan Istana Kepresidenan,
Presiden Soekarno dan regu pengawalnya sama sekali masih tidak tahu-menahu
mengenai apa yang terjadi.
Pada tanggal 30 September 1965, malam, Presiden Soekarno tidak tidur di
Istana Merdeka. Menjelang tengah malam, Soekarno meninggalkan Istana Merdeka
menuju ke kediaman istrinya, Ny Ratnasari Dewi, di Wisma Yaso, Jalan Gatot
Subroto (kini, Museum Satria Mandala). Dalam perjalanan ke sana, Soekarno
singgah di Hotel Indonesia untuk menjemput Ny Dewi, yang tengah menghadiri
resepsi yang diadakan Kedutaan Besar Irak di Bali Room.
Keesokan harinya, tanggal 1 Oktober 1965, pukul 06.30, Presiden Soekarno
keluar rumah, memasuki mobil kepresidenan, dan bergegas ke Istana Merdeka.
Pagi itu, Soekarno dijadwalkan menerima Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena
dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani.
Di dalam mobil, Suparto, staf ajudan yang mengemudikan mobil itu, memberi
tahu informasi yang diperolehnya dari Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP)
Komisaris Polisi Mangil Martowidjojo, yakni bahwa pada pukul 04.00, ada
penembakan di rumah Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf
Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan rumah Wakil Perdana Menteri II
Dr Leimena, yang letaknya bersebelahan.
Presiden Soekarno langsung memerintahkan Suparto untuk memberhentikan mobil
yang baru bergerak beberapa meter itu. Ia langsung memanggil Mangil dan
meminta penjelasan tentang penembakan tersebut.
Kemudian Soekarno bertanya, "Baiknya bagaimana, saya tinggal di sini dulu
atau langsung kembali ke Istana?" Mangil menjawab, "Sebaiknya Bapak tinggal
di sini dulu, karena saya masih harus menunggu laporan dari Inspektur I
Jatiman (Kepala Bagian II DKP) yang tadi saya perintahkan untuk mengecek
kebenaran berita tersebut."
Mendengar jawaban itu, Soekarno menghardik Mangil dengan nada keras,
"Bagaimana mungkin, kejadian pukul 04.00 pagi, sampai sekarang belum
diketahui dengan jelas."Soekarno dan regu pengawalnya kemudian meninggalkan
Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. Rencananya mereka akan melalui Jembatan
Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka
Barat, dan Jalan Merdeka Utara.
Sewaktu rombongan Presiden Soekarno melintas di atas Jembatan Dukuh Atas,
menjelang Bundaran Hotel Indonesia, Jatiman menghubungi Mangil dan
membenarkan ada tembakan di rumah Jenderal AH Nasution dan Dr Leimena. Ia
juga menginformasikan tentang adanya pasukan Angkatan Darat "yang terasa
sangat mencurigakan" di sekitar Istana dan kawasan Monumen Nasional.
Mendengar informasi itu Mangil memutuskan untuk menjauhkan Soekarno dari
pasukan tersebut. Pada saat yang sama, Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa
Kolonel (CPM) Maulwi Saelan menghubungi Mangil lewat handy-talkie dan
memerintahkan untuk membawa Soekarno ke rumah istrinya yang lain, Ny
Harjati, di kawasan Slipi, di sebelah lokasi Hotel Orchid (sekarang).
Rombongan kemudian membelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan, Tanah
Abang Timur, Jalan Jati Petamburan, dan ke arah Slipi, ke rumah Ny Harjati.
Saelan menunggu Soekarno di rumah Ny Harjati. Begitu tiba, pukul 07.00,
Soekarno segera masuk ke dalam rumah, diikuti Saelan. Soekarno segera
memerintahkan Saelan mengontak semua panglima angkatan. Namun, sejak malam
hingga pagi itu, jaringan telepon lumpuh sehingga Saelan meminta Suparto
untuk menghubungi secara langsung.
Saelan kemudian mendatangi Mangil di luar, dan mengupayakan untuk mencari
tempat yang aman bagi Soekarno. Berbagai gagasan pun bermunculan, tetapi
setelah Suparto kembali pada pukul 08.30 dan melaporkan bahwa ia berhasil
mengadakan kontak dengan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya
Omar Dani di Pangkalan Angkatan Udara Halim, maka diputuskan untuk membawa
Soekarno ke sana.
Soekarno menyetujui hal itu karena itu sesuai dengan Standard Operating
Procedure (SOP) Tjakrabirawa. Bahwa jika dalam perjalanan pengamanan
Presiden terjadi sesuatu hal yang mengancam keamanan dan keselamatan
Presiden, maka secepatnya Presiden dibawa ke Markas Angkatan Bersenjata
terdekat. Alternatif lain adalah menuju ke Pangkalan Angkatan Udara Halim
Perdanakusuma karena di sana ada pesawat terbang kepresidenan C-140 Jetstar.
Atau, pelabuhan Angkatan Laut, tempat kapal kepresidenan RI Varuna berlabuh.
Atau, bisa juga ke Istana Bogor karena di sana diparkir helikopter
kepresidenan Sikorsky S-61V.
Sekitar pukul 09.30, rombongan Presiden Soekarno tiba di Pangkalan Angkatan
Udara Halim. Presiden disambut Omar Dani dan Komodor Leo Wattimena, yang
karena ketidaktahuannya atas apa yang terjadi, dapat ditarik ke kubu
Soeharto siang harinya.
Sementara itu, sekitar pukul 06.00, Brigadir Jenderal Soepardjo, pimpinan
G30S, berangkat ke Istana untuk melaporkan peristiwa G30S kepada Presiden
Soekarno. Karena Soekarno tidak berada di Istana, Soepardjo sempat menunggu
selama dua jam di sana. Setelah mendapatkan informasi bahwa Soekarno berada
di Halim, maka ia segera menyusul ke Halim. Pukul 10.00, ia bertemu dengan
Soekarno dan melaporkan mengenai gerakannya. Namun, Soekarno menolak untuk
mendukung gerakan itu, dan meminta ia menghentikan gerakannya untuk
menghindari pertumpahan darah.
Namun, penguasaan atas pasukan dan media massa saat itu membuat Soeharto
bisa melakukan tindakan apa saja yang dikehendakinya melalui kaki tangannya.
Bahkan, Soekarno, lewat kesaksian Brigjen Sugandhi, Kepala Pusat Penerangan
Hankam, dan ajudan Presiden Soekarno sendiri, Kolonel Marinir Bambang
Widjanarko, dikatakan bertanggung jawab atas G30S.
Uniknya, Bambang Widjanarko yang memberikan kesaksian bahwa Soekarno
terlibat dalam peristiwa G30S, tetap ditugaskan mendampingi Soekarno sampai
jabatannya sebagai Presiden Indonesia resmi dicabut oleh MPRS.
Kesaksian Sugandhi dibantah oleh Oei Tjoe Tat, yang juga hadir dalam jam
minum kopi pagi (koffie uurtje) pada tanggal 30 September 1965.
Cerita Sugandhi tentang apa yang terjadi pagi itu, menurut Oei Tjoe Tat,
mengada-ada.
Seperti Sugandhi, kesaksian Bambang Widjanarko pun dibantah oleh Kolonel
(CPM) Maulwi Saelan dan Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Sogol Djauhari Abdul
Muchid, bertugas di bagian Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Sogol
disebut Bambang Widjanarko sebagai orang yang menyerahkan surat Untung
tentang penjemputan paksa para jenderal kepada Soekarno tanggal 30 September
1965 malam.
Pertanyaan besar yang mengganjal, adalah mengapa sama sekali tidak ada yang
mempersoalkan, mengapa Soeharto tidak melaporkan adanya gerakan untuk
menjemput paksa para jenderal Angkatan Darat kepada atasannya, Jenderal
Ahmad Yani, yang tewas dalam aksi penjemputan paksa itu? (James Luhulima)

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/message/18467

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/27/opini/1350653.htm